Kumpulan Makalah Hadits



Makalah Ulumul Hadits
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Sudah  merupakan kesepakatan kaum muslimin bahwa al-Hadits merupakan sumber syariat islam kedua setelah al-Qur-an. Oleh karena itu mempelajari hadits-hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- merupakan kewajiban sebagaimana mempelajari al-Qur-an.Demi menyempurnakan pengkajian kita terhadap hadits-hadits Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan memudahkan dalam menelaah sunnah yang diwariskan oleh beliau, serta mampu memilah antara yang shahih dan yang dha’if dari hadits dan sunnah tersebut, maka dibutuhkan wasilah khusus yang bisa  merealisasikan hal tersebut, wasilah tersebut adalah ‘Ulumul Hadits.
‘Ulumul Hadits merupakan ilmu mulia, barang siapa yang mahir dalam disiplin ilmu ini, maka sungguh telah mendapatkan kebaikan yang besar, karena ilmu ini merupakan kunci pokok untuk mempelajari hadits-hadits Nabi, barangsiapa yang mempelajarinya maka akan banyak berinterakasi dengan sunnah-sunnah Rasulullah, sehingga sangat berpotensi untuk lebih mengenal sunnah beliau, bahkan tidak menutup kemungkinan akan terbangun sebuah kemampuan yang luar biasa, yaitu keahlian dalam memilah hadits shahih dan hadits dhaif. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai urgensi kajian ulumul hadits.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah berikut:
1.      Apa sajakah tujuan mempelajari ulumul hadits?
2.      Apa manfaat mempelajari ulumul hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tujuan mempelajari ulumul hadits.
Ulumul hadist merupakan ilmu yang penting dalam mempelajari ilmu hadist.Ilmu ini merupakan hal yang penting untuk menjadi seorang ahli hadits yang mumpuni. Selain itu,  pentingnya mempelajari hadits disebabkan  juga oleh beberapa hal berikut ini:
1.    Hadits berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an.
Alqur’an dan hadist sebagai sumber hukum dalam islam tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Al qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan utama hanya memuat dasar-dasar yang bersifat umum bagi syari;at islam, tanpa perincian secara detail. Kecuali yang sesuai dengan pokok-pokok yang bersifat  umum itu, yang tidak pernah berubah karena adanya perubahan zaman dan tidak pula berkembang karena keragaman pengetahuan dan lingkungan. Karena keadaan al qur’an yang demikian itu, maka hadist sebagai sumber hukum yang kedua setelah al qur’an , tampil sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat  al qur’an yang masih bersifat global, menafsirkan yang masih mubham, menjelaskan yang masih mujmal, membatasi yang mutlak (muqayyad), mengkhususkan yang umum (‘am), dan menjelaskan hukum-hukum serta tujuan-tujuannya, demikian juga membawa hukum-hukum  yang secara eksplisit tidak dijelaskan oleh al qur’an. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang artinya: “ Dan Kami turunkan kepadamu Al qur’an , agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” ( Q.S An Nahl : 44)
2.      Banyaknya hukum yang belum tercantum dalam Al-qur’an.
ü  Taqyid (pembatasan) terhadap kemutlakkan Al-qura’an.
Kata “tangan” dalam ayat “pencuri pria dan wanita hendaklah kamu potong tangan mereka” adalah muthlaq. Yang disebut tangan adalah sejak dari jari-jari sampai dengan pangkal tangan. Kemudian As sunnah membatasi potong tangan itu pada pergelangan, bukan pada siku-siku atau pangkal lengan.
3.      Potensi pemalsuan hadits sangat besar, sehingga perlu dijaga keotentikannya.
Pada zaman kekhalifahan Ali bin abi thalib munculahberbagai macam golongan. Setiap golongan dari mereka merasa menjadi yang paling benar. Mereka selalu ingin berusaha untuk tetap berpengaruh. Untuk meyakinkan semua itu mereka mencari dalil-dalil yang bisa menguatkan kelompok mereka, bahkan sampai membuat hadist-hadist palsu.
4.      Terdapat banyak hadits dla’if dan hadits palsu yang perlu dihindari supaya tidak dijadikan sebagai sumber hukum Islam.
Ilmu ini akan membentengi kaum muslimin dari rongrongan hadits-hadits lemah dan palsu yang banyak merebak di tengah umat, dan menjaga syariat yang murni ini dari maraknya kesyirikan dan bid’ah yang tumbuh dengan subur di tengah kaum muslimin disebabkan beredarnya hadits lemah dan palsu diantara mereka, serta akan menanamkan urgensi berpegangteguh dengan hadits-hadits Nabi yang shahih dalam membangun agama, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, maupun mu’amalah.Kemudian Imam Syafi’i juga berkata, “Demi umurku. Ilmu hadits ini termasuk tiang agama yang paling kokoh dan keyakinan yang paling teguh. Tidak digemari selain oleh orang-orang jujur lagi taqwa, dan tidak dibenci selain oleh orang-orang munafiq”.Al Hakim juga menandaskan, “Andaikata tidak banyak orang yang menghafal sanad hadits, niscaya menara Islam roboh dan niscaya para ahli bid’ah berkiprah membuat hadits palsu (maudhu’) dan memutarbalikkan sanad”.
5.      Adanya berbagai macam masalah mengenai hadist.
Dewasa ini mulai muncul masalah mengenai hadist,hal ini datang dan timbul dari periwayat hadist yang bernama Abu hurairah. Abu hurairah merupakan salah satu sahabat yang tergolong singkat kebersamaannya dengan Rasulullah SAW namun hadist yang diriwayatkan tergolong cukup  banyak. Sehingga hal ini dimanfaatkan oleh orang non muslim yang mempelajari is;am untuk melemahkan hadist.
B.     Manfaat mempelajari ulumul hadist.
Mempelajari ilmu hadits paling tidak akan mendapatkan tiga sasaran utama:
a.       agar seseorang memiliki dasar pengetahuan tentang suatu hadits yang bersandar kepada Nabi saw dan yang tidak memiliki sandaran.
b.      seseorang akan  mengetahui mana hadits dan mana yang bukan hadits.
c.       seseorang akan mendapatkan ilmu pengetahuan dari sisi hukum apakah suatu hadits dapat diterima sebagai hujah (maqbul) ataukah tertolak (mardud) .
d.      Ilmu ini akan memberikan bekal bagi para penuntut ilmu syar’i  untuk mengkaji hadits-hadits Rasulullah –shallallahu wa sallam-, sebab semua cabang ilmu syar’i membutuhkan pengetahuan terkait disiplin ilmu ini, seorang ahli tafsir, seorang faqih, dan seorang ahli aqidah membutuhkan hadits-hadits shahih dalam beristidlal, dan kemampuan untuk memilah hadits shahih dan dha’if terbangun dengan ilmu ini.
e.       Membekali penuntut ilmu hadits -secara khusus- kunci pengetahuan terkait dasar-dasar periwayatan, syarat-syarat diterima dan ditolaknya hadits, mengenal para perawi terpercaya dan perawi yang ditolak riwayatnya dan lain sebagainya.
f.       Memberikan kemampuan untuk mengenal metodologi para ulama dalam menyaring hadits-hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan memisahkannya  antara yang shahih dan yang dha’if.
g.      Mengetahui juhud (upaya) para ulama dalam menuntut ilmu ini dan mengajarkannya dari generasi ke generasi, dan merenungi pengorbanan mereka dalam menjaga kemurnian hadits-hadits Rasulullah, sehingga memompa semangat kita dalam menuntut ilmu syar’i, mengajarkan dan mendakwahkannya kepada generasi berikutnya.
h.      Mengenal kota-kota yang menjadi markaz ilmu hadits, dan negeri yang menjadi pusat rihlah dalam menuntut ilmu tersebut, seperti kota Mekah, kota Madinah, kota Khurasan, kota Baghdad, kota Bashrah, kota Mesir dan lain sebagainya.
i.        Mengenal para pakar hadits dari zaman ke zaman, sejak zaman sahabat sampai zaman ini, dan berupaya menelaah sirah (profil) mereka untuk memetik faedah dari manhaj (metodologi) mereka dalam menuntut ilmu, mengetahui adab mereka dalam menuntutnya, serta menilik upaya mereka dalam mengejawantahkan ilmu tersebut  dalam amal nyata
BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan.
Dari makalah sederhana ini dapat penulis simpulkan bahwa, tujuan untuk mempelajari ulumul hadist adalah hadist berfungsi untuk menjelaskan Al-Qura’an, banyaknya hukum yang belum tercantum dalam Al-Qur’an, potensi tiap golongan dari mereka macam hadits sangat besar sehingga perlu dijaga keotentikkannya, terdapat banyak hadits dla’if dan hadist palsu yang perlu dihindari supaya tidak dijadikan sebagai sumber hukum Islam, adanya berbagi macam masalah mengenai hadist.
Sedangkan manfaat dari mempelajari ulumul hadist yaitu agar seseorang memiliki dasar pengetahuan tentang suatu hadits yang bersandar kepada Nabi saw dan yang tidak memiliki sandaran, seseorang akan  mengetahui mana hadits dan mana yang bukan hadits, seseorang akan mendapatkan ilmu pengetahuan dari sisi hukum apakah suatu hadits dapat diterima sebagai hujah (maqbul) ataukah tertolak (mardud), Ilmu ini akan memberikan bekal bagi para penuntut ilmu syar’i  untuk mengkaji hadits-hadits Rasulullah –shallallahu wa sallam.
B.     Saran dan Kritik
Saran dan kritik sangat penulis harapkan demi perbaikan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis pada khususnya, dan pembaca sekalian pada umumnya. Amiin.






Cara Meneliti Hadits
BAB I
PENDAHULUAN
A.. Latar Belakang
Hadits Nabi adalah sumber ajaran Islam kedua. Dilihat dari periwayatannya, hadits berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an, semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir, sedangkan hadits, sebagian periwatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Hadits mengenal istilah shohih, hasan, bahkan ada mardud dan dhoif dan lainya. Namun, dalam al-Qur’an tidak mengenal hal semacam itu karena periwayatan al-Qur’an adalah mutawatir yang tidak mungkin diragukan isinya.
Tetapi dalam hadits kita harus cermat, siapa yang meriwayatkan, bagaimana isinya dan bagaimana kualitasnya, karena kualitas hadits akan berpengaruh pada hukum Islam.
Penelitian ini bukan bermaksud untuk meragukan keseluruhan hadits Nabi tetapi lebih kepada kehati-hatian (al-ihtiyath) dalam pengambilan dasar hukum. Inilah bukti bahwa kita benar-benar ingin mengikuti Nabi Muhammad dan menjalankan Islam sepenuhnya. Hal semacam itulah yang menyebabkan pengkajian hadits tidak hanya menyangkut kandungan dan aplikasinya saja, tetapi juga segi sanad, matan dan periwayatannya. Di sinilah Ulama’ hadits sangat berhati-hati dalam melakukan periwayatan. Sehingga segala sesuatu yang berkenaan dengan materi hadits menjadi sangat besar manfaatnya bagi penelitian kualitas hadits.

BAB II
 PEMBAHASAN
1. Pengertian Sanad dan Matan
Kata sanad menurut bahasa berarti sandaran; yang dapat dipegangi atau dipercayai; kaki bukit atau kaki gunung. Sedangkan menurut istilah adalah:
هو طريق المتن, اى سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن مصدره الاول
“Sanad adalah jalan yang menyampaikan pada Matan, yaitu rangkaian para periwayat yang mengutip ma tan dari sumber pertamanya.”
Adapun pengertian dari Matan menurut bahasa adalah punggung jalan; atau tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah:
هو الفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه
“Matan adalah ungkapan-ungkapan hadits yang menunjukkan maksud hadits tersebut”
Selain istilah sanad dan matan seperti yang telah diuraikan di atas, perlu pula diketahui istilah Rawi. Yang dimaksud Rawi adalah “ orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atau diterima dari seseorang (gurunya).
Perbuatan menyampaikan hadits tersebut dinamakan me-rawi (riwayat) kan hadits. Sebagai contoh dari sanad, matan dan rawi bisa dilihat pada contoh hadits berikut:
روى الامام البخارى قال: حدثنا محمد بن المثنى قال: حدثنا عبد الوهاب الثقفى قال: حدثنا ايوب, عن أبى قلابة, عن أنس عن النبى ص.م. قال: ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الايمان: ان يكون الله ورسوله أحب اليه مما سواهما, وان يحب المرء لايحبه الا الله, وان يكون ان يعود فى الكفر كما يكره ان يقذف فى النار
Dari hadits di atas, kita temukan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan oleh beberapa orang rawi, yakni:
1. Anas sebagai rawi pertama
2. Abi Qalabah sebagai rawi kedua
3. Ayyub sebagai rawi ketiga
4. Abdul wahhab Al-Tsaqafi sebagai rawi keempat
5. Muhammad ibn Al-Mutsanna sebagai rawi kelima
6. Imam Bukhari sebagai rawi terakhir (pentakhrij)
Adapun deretan kata-kata mulai dari :حدثنا محمد بن المثنى sampai dengan kalimat عن النبى ص.م. قال itulah yang dinamakan sanad
Untuk contoh hadits di atas, matan haditsnya adalah rangkaian kalimat mulai dari ثلاث من كن فيه sampai ان يقذف فى النار. Dalam penulisan ilmiah, seyogyanya, selain ditulis matan hadits dimaksud, juga ditulis nama rawi terakhir (pentakhrij) dan rawi pertamanya (sanad terakhir). Umpamanya untuk penulisan hadits di atas, setelah menulis matannya, kemudian ditulis kalimat: رواه البخارى عن أنس.
2. Pengertian Penelitian Sanad dan Matan
Penelitian sanad dan matan lebih dikenal dengan istilah kritik sanad dan matan. Penelitian ini bukan berarti tidak mempercayai semua hadits Nabi, akan tetapi hal seperti ini hanya tertuju pada hadits ahad bukan hadits mutawatir. Selain itu juga merupakan kehati-hatian kaum muslimin dalam menjaga hadits Nabi di samping berkeinginan untuk mengikuti sunnah Nabi dengan sebenar-benarnya.
Fakta sejarah telah menyatakan bahwa hadits Nabi hanya diriwayatkan dengan mengandalkan bahasa lisan/hafalan dari para perawarinya selama kurun waktu yang panjang, hal ini memungkinkan terjadi kesalahan, kealpaan dan bahkan penyimpangan. Berangkat dari peristiwa ini ada sebagian kaum muslimin yang bersedia mencari, mengumpulkan dan meneliti kualitas hadits, upaya tersebut dilakukan hanya untuk menyakinkan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi.
Sehubungan dengan hal itu, mereka akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu, sebagai langkah mereka mengadakan penelitian pada sanad. Bagian-bagian penting dari sanad yang diteliti adalah nama perawi dan lambang-lambang periwayatan hadits, misalnya; sami’tu, akhbarāni, ‘an dan annă. Menambahkan hal itu, menurut Bustamin, sanad harus mempunyai ketersambungan, yaitu perawi harus berkualitas siqah (‘adil dan dhabit); dan masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya pertemuan, diantaranya; sami’tu, hadatsana, hadatsani, akhbarani, qala lana, dhakarani
Untuk meneliti sanad diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter pelbagai pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang berbeda-beda. Matan hadits yang sudah shahih belum tentu sanadnya shahih. Sebab, boleh jadi dalam sanad hadits tersebut terdapat masalah sanad, sepeti sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatanya tidak siqat (‘adil dan dhabit)..
3. Latar belakang penelitian Sanad dan Matan
Sebenarnya metode yang mirip dengan sanad sudah tampak sebelum Islam lahir, akan tetapi metode tersebut masih tampak samar-samar. Sebagaimana dalam penukilan syair-syair jahiliyah, metode sanad sudah digunakan. Namun formulasi metode sanad ini baru tampak jelas dalam sistem periwayatan hadits saja. Pemakaian sanad dalam literatur hadits telah digunakan oleh sahabat sejak Nabi masih hidup. Mereka yang hadir dalam majelis pengajian Nabi memberitahukan sahabat lain yang tidak hadir tentang hal yang mereka dengar.
Ulama’ sangat besar perhatiannya terhadap sanad dan matan hadits. Hal ini terbukti dengan adanya tiga alasan. Pertama, pernyataan-pernyataan ulama’ yang menyatakan bahwa sanad merupakan bagian tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadits. Kedua, banyaknya karya tulis ulama’ yang berkenaan dengan sanad hadits. Ketiga, dalam praktek, apabila mereka menghadapi suatu hadits, maka sanad hadits merupakan salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus.
Pada dasarnya ada empat faktor yang mendorong ulama’ hadits mengadakan penelitian hadits yaitu dari segi sanad dan matan. Yaitu:
a)      Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam
Dalam sejarah, hampir seluruh ulama dan umat Islam menyepakati hadits sebagai sumber ajaran Islam. Hanya ada sekelompok kecil pada masa klasik yang menolaknya, inilah yang disebut Inkar al-sunnah. Hal itu dikarenakan mereka kurang paham tentang pelbagai hal mengenai ilmu hadits. Namun, pada masanya juga Imam Syafi’i memberikan bantahan lewat argumen-argumennya dalam kitab al-Umm. Karenanya, Imam Syafi’i kemudian diberi julukan sebagai Nashir al-Sunnah (pembela Sunnah).
Semenjak abad ketiga, yaitu setelah Imam Syafi’i memberikan argumen-argumennya, sampai abad keempat belas hijriyah, tidak ada cacatan sejarah yang menunjukkan bahwa di kalangan umat Islam terdapat pemikiran penolakan Sunnah. Namun, baru pada abad keempat belas Hijriyah, pemikiran seperti itu muncul kembali, dan kali ini dengan bentuk yang berbeda dari Inkar al-Sunnah klasik dan lebih berbahaya. Inkar al-Sunnah Modern yang muncul di Cairo, Mesir itu disebabkan adanya pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam, tokoh-tokohnya mengaku sebagai mujtahid dan pembaharu, dan meskipun kepada mereka telah diterangkan urgensi Sunnah dalam Islam, mereka tetap bertahan pada pendiriannya.
Namun, kiranya Allah berkehendak lain. Apabila Imam Syafi’i berhasil melumpuhkan Inkar al-Sunnah klasik, maka munculnya para pakar Hadits kontemporer seperti Prof. Dr. Musthafa al-Siba’i, Prof. Dr. M.M. A’zami dan lain-lain telah membikin argumentasi Inkar al-Sunnah modern hancur berkeping-keping. Sehingga hadits dapat dilestarikan sampai sekarang
b)   Hadits tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
Tidak ada perselisihan bahwa Al-Qur’an telah mendapat perhatian khusus dari Rasul sehingga membuatnya terpelihara dalam dada, tertera di lembaran-lembaran, pelepah korma, dll. Tetapi Sunnah tidaklah demikian, meskipun merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Sunnah tidak mendapat perhatian khusus dalam masalah kodifikasi. Mungkin penyebabnya adalah bahwa Rasul hidup bersama sahabat selama dua puluh tiga tahun, sehingga penulisan hadits adalah sulit dilakukan dari segi masalah lokasi. Selain itu juga dikhawatirkan silapnya sebagian sabda Nabi yang singkat dan padat dengan Al-Qur’an karena alpa dan tanpa sengaja. Dengan begitu, kita mengetahui rahasia dilarangnya menulis Sunnah yang terdapat dalam hadits Muslim “Janganlah kamu menulis dariku selain Al-Qur’an, maka barang siapa menulis sesuatu hendaklah ia menghapusnya.”
Meski begitu, sudah dipastikan bahwa sebagian sahabat memiliki lembaran-lembaran tertulis yang di dalamnya mencatat sebagian apa yang mereka dengar dari Nabi, meski hanya dikenal dengan istilah shahifah dan nuskhah. Namun, ada sementara sahabat yang sudah memberikan nama tertentu bagi karyanya, seperti Abdullah Amr ibn al-Ash (7 SH-65 H). Beliau memberikan nama al-Shadiqah.
Para Ulama’ berselisih pendapat bagaimana menggabungkan hadits nabi yang melarang penulisan hadits, sedangkan menurut sejarah tidak sedikit sahabat yang menulis dan menyimpannya. Ada yang berpendapat bahwa larangan itu terhapus (mansukh). Ada pula yang berpendapat bahwa larangan menulis hanya untuk mereka yang tidak aman dari membuat kesalahan dan mencampuradukkan antara sunnah dan al-Qur’an. Sedangkan Prof. Dr. Musthafa al-Siba’i, seorang tokoh hadits yang energik dari Damaskus, Syiria, berpendapat bahwa larangan yang dimaksud adalah penulisan secara resmi sebagaimana dicatatnya al-Qur’an. Sedangkan izin penulisan adalah kelonggaran mencatat sunnah dalam keadaan dan keperluan khusus, atau kelonggaran bagi sahabat yang menulis untuk dirinya sendiri.
c) Munculnya pemalsuan Hadits
Pada zaman Nabi, belum terdapat bukti yang kuat tentang telah terjadinya pemalsuan hadits. Menurut bukti yang ada, pemalsuan hadits mulai ada pada masa Khalifah Ali ibn Abi Thalib, walau begitu tidak menutup kemungkinan pemalsuan hadits sudah berlangsung pada masa sebelumnya.
Berdasarkan sejarah, pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang Islam saja tetapi juga oleh orang-orang non-Islam. Orang-orang non-Islam membuat hadits palsu karena ingin menghancurkan Islam dari dalam. Sementara orang-orang Islam tertentu membuat hadits palsu karena didorong beberapa tujuan. Seperti Kaum Syiah yang membuat hadits palsu tentang kemuliaan sahabat Ali. Kaum pendukung Muawiyah pun tidak mau kalah, mereka membuat hadits palsu untuk memuliakan pemimpinnya.
Dalam hal ini harus dinyatakan bahwa apapun latar belakang dan tujuan pemalsuan hadits, hal seperti itu tetaplah perbuatan tercela dan menyesatkan. Bahkan Nabi sendiri mengancam neraka bagi pemalsu sabda atas nama Nabi
d) Proses penghimpunan hadits
Pada zaman sahabat Nabi dan Tabi’in, khususnya sebelum Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz memerintahkan untuk menghimpun hadits, kegiatan penulisan hadits telah dilakukan banyak orang. Akan tetapi hanya untuk kepentingan sendiri karena masih berlangsung perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya penulisan hadits.
Keinginan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz (memerintah 99-101H) untuk menghimpun tersebut diwujudkan dalam bentuk surat perintah yang dikirim ke seluruh pejabat dan Ulama’ di pelbagai daerah pada Akhir tahun 100 H. sayang sekali sebelum selesai penghimpunan, Khalifah telah meninggal dunia. Meski demikian, kegiatan tersebut masih berjalan terus.
Sekitar pertengahan abad kedua Hijriyah, telah muncul pelbagai kitab himpunan hadits yang tidak hanya memuat matan saja tetapi juga sanad. Ada yang berkualitas shahih dan juga ada yang berkualitas tidak shahih. Ulama’ berikutnya kemudian menyusun kitab hadits yang khusus menghimpun hadits-hadits shahih.
Masih banyak kitab hadits yang disusun oleh ulama’ pada abad ke III H. tidak sedikit juga ulama’ sesudah abad III H yang menyusun hadits yang kebanyakan berupa ringkasan. Dengan demikian puncak penghimpunan hadits terjadi pada abad III H. Setelah itu, penghimpunan hadits hanya untuk melengkapi, menggabungkan dan sebagainya.
4. Tujuan Penelitian Hadits
Tujuan pokok penelitian hadits baik dari segi sanad maupun matan adalah untuk mengetahui kualitas hadits yang diteliti. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
Pernyataan ulama’ tentang tidak perlunya penelitian lebih lanjut pada hadits mutawatir tidaklah berarti bahwa terhadap mutawatir tidak dilakukan penelitian. Penelitian hadits mutawatir tetap saja dilakukan, hanya saja tujuan penelitian bukanlah untuk mengetahui kualitas sanad dan matan, melainkan untuk mengetahui apakah benar hadits tersebut berstatus mutawatir.
Penelitian ulang terhadap hadits yang telah pernah dinilai oleh Ulama’ tetap memiliki manfaat mengingat ulama’ dahulu pun manusia yang kadang salah dan benar. Penelitian merupakan salah satu upaya untuk selain mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitian dahulu, juga untuk menghindar dari penggunaan dalil hadits yang tidak memenuhi syarat dari segi kehujjahan.
5. Kaidah-kaidah penelitian Hadits
Dalam kegiatan penelitian hadits ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang peneliti hadits, yaitu sebagai berikut:
a) Takhrijul Hadits
Langkah awal yang dilakukan para ahli Hadits dalam kegiatan penelitian hadits adalah Takhrijul hadits. Banyak sekali istilah yang dipakai ulama’ hadits tentang pengertian Takhrijul hadits. Namun, pengertian yang dimaksud dalam kegiatan penelitian hadits lebih lanjut ialah “penelusuran atau penelitian hadits pada pelbagai kitab sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad yang bersangkutan”.
Tanpa dilakukan kegiatan takhrijul hadits terlebih dahulu maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti. Hal inilah yang menjadikannya sangat penting bagi seorang peneliti hadits. Pada dasarnya ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan Takhrijul hadits. Yaitu:
- Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits, sehingga mudah diketahui status dan kualitasnya.
- Untuk mengetahui seluruh riwayat bagi hadits, sehingga dapat ditentukan sanad yang berkualitas dlaif dan yang berkualitas shahih.
- Untuk mengetahui ada atau tidak adanya Syahid dan Mutabi’ pada sanad hadits, Syahid adalah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat Nabi. Sedangkan Mutabi’ adalah periwayat yang berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi.
Dalam buku Cara Praktis Mencari Hadits dikemukakan bahwa metode takhrijul hadits ada dua macam, yaitu:
  • ØMetode Takhrijul Hadits bil Lafz
Metode ini adalah penelusuran hadits melalui lafadz. Kitab kamus yang agak lengkap untuk kepentingan ini adalah adalah kitab susunan Dr.A.J. Wensinck dkk. Yang diterjemahkan ke bahasa arab dengan judul المعجم المفهرس لالفاظ الحديث النبوي
  • ØMetode Takhrijul Hadits bil maudlu’
Metode ini adalah penelusuran hadits melalui topik masalah. Kitab kamus untuk kepentingan ini adalah مفتاح كنوز السنة yang juga susunan dari Dr.A.J. Wensinck dkk.
b) Penelitian Sanad Hadits
Setelah melakukan takhrijul hadits, maka seluruh sanad hadits dicatat dan dihimpun untuk dilakukan penelitian dengan urutan sebagai berikut:
1. Al-i’tibar
Al-I’tibar yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian dari sanad hadits di maksud. Tujuan diadakannya Al-I’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya periwayatan yang berstatus mutabi’ (periwayatan yang berstatus pendukung yang bukan sahabat Nabi), dan syahid (periwayatan yang berstatus sebagai dan untuk Nabi).
Untuk mempermudah proses al-i’tibar, diperlukan pembuatan skema seluruh sanad hadits yang diteliti. Garis-garis sanad harus jelas, seperti halnya nama periwayat agar tidak mengalami kesulitan dalam penelitian. Sebagai contoh hadits yang berbunyi من رأى منكم منكرا. Berikut ini dikemukakan riwayat hadits tersebut yang mukharrijnya Muslim:
حدثنا أبو بكر بن أبى شيبة, حدثنا وكيع عن سفيان.ح. و حدثنا محمد المثنى. حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة, كلاهما عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب وهذا حديث أبى بكر. قال: أول من بدأ بالخطبة يوم العيد قبل الصلاة مروان. فقام اليه رجل. فقال: الصلاة قبل الخطبة. فقال: قد ترك ما هنالك. فقال أبو سعيد: أما هذا فقد قضى ما عليه. سمعت رسول الله ص.م. يقول: من رأى منكم منكرا فليغير بيده فان لم يستطع فبلسانه, فان لم يستطع فبقلبه, وذالك أضعف الايمان. (أخرجه مسلم)
Marwan bin Hakam dalam riwayat di atas bukanlah periwayat hadits. Dia disebut namanya karena adanya kasus yang dia lakukan yaitu mendahulukan khutbah dalam shalat hari raya dengan alasan tahun sebelumnya bila shalat jamaah selesai dan diikuti khutbah, ternyata banyak anggota jamaah yang meninggalkan tempat shalat. Tindakan Marwan ditegur oleh salah seorang yang hadir. Di tempat itu hadir pula Abu Said al-Khudri yang membenarkan sikap orang yang menegur. Abu Said menilai tindakan Marwan itu merupakan perbuatan munkar. Karenanya, ia menyampaikan hadits Nabi di atas yang berisi perintah untuk mengatasi kemungkaran. Dengan demikian, kasus Marwan bukanlah sabab al-wurud dari sabda Nabi tersebut karena kasus itu tidak termasuk matan
Dalam mengemukakan riwayat, Imam Muslim menyandarkan riwayatnya kepada dua periwayat, yakni Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Muhammad bin al-Mutsanna. Keduanya beliau sandari sebagai sanad pertama. Dengan demikian, sanad terakhir adalah Abu Said al-Khudri.
Huruf ح yang terletak antara nama Sufyan dan kata wa haddasana adalah singkatan dari kata at-tahwil min isnad ila isnad, artinya: perpindahan dari sanad yang satu ke sanad yang lain. Dengan demikian sanad Muslim dalam riwayat hadits di atas ada dua macam.
2. Meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya
Dalam meneliti pribadi periwayat, Ulama’ hadits sepakat bahwa ada dua hal yang harus diteliti untuk dapat diketahui riwayat hadits bisa dijadikan hujjah atau tidak. Yaitu keadilan dan kedhabitannya. Jika kedua sifat itu telah dimiliki maka periwayat dinyatakan bersifat Siqah.
a.       adil (kualitas pribadi periwayat)
Dalam memberikan pengertian istilah adil, ulama’ berbeda pendapat. Dari perbedaan itu dapat dihimpun empat butir kriteria untuk seorang yang adil. Yaitu: (1) beragama Islam; (2) mukallaf; (3) melaksanakan ketentuan agama; (4) memelihara muru’ah.
Pada kriteria melaksanakan ketentuan agama, Allah memerintahkan dalam Surat al-Hujurat: 6 agar berita yang berasal dari orang fasiq diteliti kebenarannya. Maka berita dari orang yang fasiq yang berkenaan dengan sumber ajaran Islam, dalam hal ini hadits Nabi, harus ditolak. Karena orang yang tidak melaksanakan ketentuan agama tidak merasa berat membuat berita bohong.
Pada kriteria keempat, Ibnu Qudamah mengartikan muru’ah dengan rasa malu yang merupakan salah satu tata nilai yang berlaku di masyarakat, berarti orang yang mengabaikan muru’ah akan mengakibatkan dia tidak dihargai oleh masyarakat. Sehingga cenderung melakukan perbuatan kompensasi untuk mencari perhatian masyarakat salah satunya adalah menyampaikan berita bohong.
b. dhabith (kapasitas intelektual)
Penerimaan hadits pada masa Nabi ialah melalui cara al-sama’. Sedangkan orang yang menyampaikan hadits harus hafal terlebih dahulu dan mampu menyampaikannya kepada orang lain di samping harus memahami isi hadits tersebut. Dengan demikian, kapasitas intelektual seorang periwayat sangat ditekankan dalam periwayatan hadits.
Dalam metode periwayatan, ada beragam cara yang dipakai, diantaranya:
a. سمعت d. أخبرنا
b. حدثنا e. قال لن
c. حدثنى f. ذكرنا
Bobot kualitas kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama’. Menurut al-Khatib al-Baghdadiy (w. 463 H), kata yang tertinggi adalah سمعت kemudian حدثنا dan حدثنى . Alasannya kata سمعت menunjukkan kepastian periwayat mendengar langsung hadits. Sedangkan حدثنا dan حدثنى masih bersifat umum; ada kemungkinan periwayat tidak mendengar langsung.
Adapun kata حدثنى lebih tinggi daripada kata حدثنا dan أخبرنا. Karena حدثنى mengandung unsur kesengajaan guru menyampaikan hadits kepada penerima riwayat. Sedang dua kata lainnya tidak demikian.
Kegiatan penelitian hadits masih belum dinyatakan selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syudzudz dan illah belum dilaksanakan dengan cermat.
1.      meneliti syudzudz
Menurut Imam Syafi’i, suatu sanad sangat memungkinkan mengandung syudzudz bila sanad yang diteliti lebih dari satu buah. Hadits yang memiliki satu sanad saja, tidak dikenal adanya syudzudz. Salah satu langkahnya adalah membandingkan (Muqaranah) semua sanad yang ada untuk matan yang topik pembahasannya sama atau memiliki segi kesamaan.
2.      meneliti illah
Illah yang disebutkan dalam salah satu unsur kaedah kesahihan sanad hadits ialah illah yang yang untuk mengetahuinya diperlukan penelitian yang lebih cermat sebab hadits yang bersangkutan tampak sanadnya berkualitas shahih. Cara menelitinya antara lain dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang semakna.
Al-Khatib al-Baghdadiy memberikan langkah-langkah yang perlu ditempuh ialah: (1) seluruh sanad yang semakna dihimpun dan diteliti, bila hadits yang bersangkutan memang memiliki mutabi’ataupun syahid; (2) seluruh periwayat dalam pelbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang berlaku. Sesudah itu, kemudian sanad dibandingkan dengan sanad lain. Maka akan ditemukan, apakah sanad hadits tersebut mengandung illah ataukah tidak.
3.      Menyimpulkan hasil penelitian sanad
Isi dari hadits harus berisi natijah (konklusi), kemudian dalam natijah harus disertai argumen yang jelas. Semua argumen dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah rumusan natijah dikemukakan.
Isi natijah untuk hadits yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berstatus mutawatir dan bila tidak demikian, maka hadits tersebut berstatus ahad. Untuk hasil penelitian hadits ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berkualitas shahih, atau hasan, atau dha’if.
c) Penelitian Matan Hadits
Kemudian untuk meneliti matan hadits juga harus melalui beberapa kegiatan diantaranya:
1. Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya
Sebelum meneliti matan terlebih dahulu harus meneliti sanad. Ini tidak berarti bahwa sanad lebih penting daripada matan. Bagi ulama’ hadits keduanya sama-sama penting, hanya saja penelitian matan mempunyai arti apabila sanad hadits sudah jelas memenuhi syarat. Di samping itu setiap matan harus memiliki sanad, karena tanpa sanad, maka suatu matan tidak dapat dinyatakan sebagai sabda Nabi.
Menurut ulama’ hadits, suatu hadits barulah dinyatakan berkualitas sahih apabila sanad dan matan hadits sama-sama shahih. Dengan demikian, hadits yang sanadnya sahih dan matannya tidak shahih atau sebaliknya, tidak dinyatakan sebagai hadits shahih.
2. Meneliti lafadz matan yang semakna
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafadz pada matan hadits yang semakna ialah karena dalam periwayat hadits telah terjadi periwayatan secara makna (ar-riwayah bil-ma’na). Menurut ulama’ hadits, perbedaan lafadz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama shahih, maka hal itu tetap dapat ditoleransi. Misalnya, hadits tentang niat yang berbeda-beda redaksi matannya.
3. Meneliti kandungan matan
Kandungan dalam beberapa matan terkadang sejalan dan juga ada yang bertentangan. Pada matan yang sejalan, maka matan itu perlu diteliti sanad-nya. Jika memenuhi syarat, maka kegiatan muqaranah kandungan matan dilakukan. Apabila kandungan matan yang diperbandingan ternyata sama, maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian matan berakhir.
Apabila kandungan matan ternyata bertentangan dengan matan yang kuat, maka penelitian harus dilanjutkan. Ulama’ berbeda pendapat dalam penyelesaiannya. Namun, dilihat dari kemungkinan masalah yang diselesaikan, empat tahap yang diusung Ibnu Hajar al-Asqalani dan lain-lain tampaknya dipandang lebih akomodatif. Yaitu, (1) at-taufiq (al-jam’u atau al-talfiq); (2) an-nasikh wal-mansukh; (3) at-tarjih; dan (4) at-tauqif (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya).
4. Menyimpulkan hasil penelitian matan
Setelah semua langkah telah dilakukan, maka langkah terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian matan.Apabila dalam penelitian matan ternyata shahih dan sanadnya juga shahih, maka natijah disebutkan bahwa hadits tersebut adalah shahih. Apabila matan dan sanadnya berkualitas dhaif, maka natijah disebutkan bahwa hadits tersebut adalah dhaif Sedangkan kalau seandainya matan dan sanadnya berbeda kualitasnya, maka perbedaan itu harus dijelaskan.
6. Ilmu-Ilmu bantu penelitian Hadits
Dalam penelitian sebuah hadits tidak hanya didasarkan pada argumen saja, tetapi ada beberapa ilmu yang dapat membantu dalam mencapai kesuksesan hadits. Ilmu yang berkenaan dengan sanad adalah sebagai berikut:
a.    Ilmu Rijalul Hadits
Yaitu ilmu yang secara mengelupas tentang tokoh/orang yang membawa hadits, semenjak dari Nabi sampai dengan periwayat terakhir (penulis hadits). Pembahasan yang terpenting adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja yang mereka singgahi dalam jangka waktu lama, kepada siapa saja mereka menerima hadits, dan kepada siapa menyampaikannya.
Ada beberapa istilah dalam penyebutan ilmu ini. Ada yang menyebutnya ilmu tarikh, ada yang menyebut tarikh ar-ruwat dan ada pula yang menyebut ilmu tarikh ar-ruwat.
b. Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil
Yaitu ilmu yang membahas keadaan para rawi dari diterima atau ditolaknya periwayatan mereka. Kritik yang dikemukakan oleh ulama’ hadits bukan hanya hal-hal yang terpuji saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal semacam ini bukan untuk menjelekkan mereka, melainkan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya dengan dapat diterima atau tidak hadits yang mereka sampaikan.
Sedang ilmu yang berkenaan dengan matan adalah sebagai berikut:
a.     Ilmu Gharibul Hadits
Dalam memahami makna matan hadits, terkadang kita menjumpai susunan kalimat yang sulit dipaham. Hal ini bukan disebabkan tidak teraturnya kalimat dan tidak fasihnya. Akan tetapi lebih merupakan keindahan seni sastra.Terdorong alasan tersebut di atas, para ulama’ hadits menyusun suatu ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu gharibul hadits.
Ibnu Shalah menta’rif ilmu gharibul Hadits sebagi berikut: “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan hadits yang sulit lagi sukar dipaham, karena jarang sekali digunakan”. Seperti lafadz الجار أحق بسبقه yang diartikan “Tetangga itu lebih berhak untuk didekati”, dengan lafadz Sabqu diartikan al-laziq (dekat).
b.    Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Yang disebut ilmu Mukhtalif al-Hadits adalah “ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, untuk menghilangkan perlawanannya itu atau mengkompromikan keduanya, sebagaimana membahas hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk mengahilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya”. Usaha untuk mengumpulkan dua hadits yang berlawanan maknanya itu disebut talfiq al-Hadits. Jika dua hadits itu dapat ditalfiqkan maknanya, maka tidak dibenarkan hanya diamalkan salah satu, sedang yang lain ditinggalkan. Cara mentalfiqkan ada kalanya dengan mentakhshishkan hadits yang umum, mentaqyidkan hadits yang mutlaq dan adakalanya memilih sanadnya yang lebih kuat.
c.     Ilmu Nasikh Hadits wa al-Mansukh
Dalam penelitian matan, seorang peneliti akan menemukan hadits-hadits yang bertentangan. Solusi yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan membahasnya melalui ilmu Nasikh Hadits wa al-Mansukh. Pengertian dari ilmu ini adalah “ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai nasikh terhadap hukum yang lain, karena ia sebagai mansukh. Karenanya, hadits yang terakhir adalah sebagai nasikh”. Jalan untuk mengetahui nasakh adalah, (1) penjelasan dari nash syar’i, (2) penjelasan dari shahabat, (3) dengan mengetahui tarikh keluarnya hadits.
d.    Ilmu Asbab al-Wurud
Mengetahui sebab-sebab lahirnya hadits adalah bagian sangat penting dalam mempelajari hadits. Karena hal ini dapat memahami makna hadits secara sempurna.
Yang dimaksud ilmu asbab al-wurud ialah “ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadits.”
Dalam mempelajari ilmu ini kita dapat mengambil beberapa faedah. Antara lain: (1) memahami dan menafsirkan hadits, (2) mengambil kandungan isi dari nash yang dilukiskan secara umum, (3) mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat, (4) mentakhsis hukum.
e.     Ilmu Ilal al-Hadits
Dalam studi hadits istilah illat dapat diartikan sebagai suatu sebab yang tersembunyi yang dapat membuat cacat suatu hadits yang nampaknya tiada bercacat. Demikian menurut Muhadditsun.
Dengan mengetahui arti illat, maka dapatlah ditetapkan ta’rif ilmu illal al-Hadits sebagai berikut:
“Ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samar-samar lagi tersembunyi dari segi membuat kecacatan suatu hadits. Seperti memutthasilkan (menganggap bersambung) sanad atau hadits yang sebenarnya sanad itu munqathi’ (terputus), merafa’kan (mengangkat sampai pada Nabi) berita yang mauquf (yang berakhir pada shahabat), menyisipkan suatu hadits pada hadits yang lain, meruwetkan sanad dengan matannya atau lain sebagainya.”
Dengan demikian, dapat diketahui betapa sulitnya meneliti apakah sanad suatu hadits itu muttashil, berita yang disampaikan oleh sahabat itu benar-benar dari Nabi, jika saja seseorang tidak mempunyai pengetahuan yang banyak tentang biografi para perawi. Apabila dalam suatu hadits ditemukan illat, menjadilah hadits tersebut hadits dlaif. Hal demikian menyebabkan tidak dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kritik hadits (Naqd al-Hadits) atau dengan sebutan penelitian hadits adalah upaya untuk menseleksi kehadiran hadits, memberikan penilaian dan membuktikan keautentikan (keshahihan) sebuah hadits. Upaya ini juga berarti mendudukan hadits sebagai hal yang sangat penting dalam sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran, sebagai bukti kehati-hatian kita. Selain yang telah tersebut di atas, upaya ini juga dilakukan untuk memahami hadits agar dapat mengaplikasikan isi dari hadits tesebut dengan tepat. Jadi, kita akan lebih yakin akan kebenaran hadits karena adanya proses penelitian yang ketat dari para sahabat dan para ulama’ hadits dan metode pemahaman yang benar.
Upaya ini mempunyai metode tersendiri dan juga ilmu-ilmu yang dapat membantu dalam proses penelitiannya. Ilmu yang berkenaan dengan sanad antara lain Ilmu Rijalul Hadits dan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, sedang untuk meneliti matan dibutuhkan Ilmu Gharibul Hadits, Ilmu Mukhtalif al-Hadits, Ilmu Nasikh Hadits wa al-Mansukh, Ilmu Asbab al-Wurud, Ilmu Ilal al-Hadits.
Dengan adanya ilmu-ilmu tersebut kegiatan penelitian akan lebih mudah dan terbantu. Sehingga pada akhirnya kita akan mendapat hasil yang memuaskan yaitu hadits yang berkualitas shahih
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al-Fikr, 1989.
Al-Siba’i, Musthafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Terj. Nurcholish Majid dari “al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami” Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992.
Bustamin, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci: Kritik atas Hadits-Hadits Sahih, Cet. I, Yogyakarta: Pilar Media, 2001.
Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Jakarta: PT Karya Unipress, 1995.
Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: PT Karya Unipress, 1992.
Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1991.
Rahman, Fatchur, Ikhtishar Musthalah Hadits, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1995, Cet: VIII.
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003.







TAKHRIJ HADIS TENTANG DUA SUJUD SAHWI



TAKHRIJ HADIS TENTANG DUA
SUJUD SAHWI



Oleh:
ASRIWAN
NIM: 30300111009
Dosen Pembimbing:
Abdul Gaffar, S.Th.I, M.Th.I
JURUSAN TAFSIR HADIS KHUSUS
FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AKADEMIK 2011/2012

A. Pembahasan Takhrij Hadis Tentang Dua Sujud Sahwi
Hadis yang menjadi pembahasan kali ini adalah hadis-hadis Nabi saw. tentang dua sujud sahwi. Adapun lafal hadis yang peneliti dapatkan yaitu  (سجدتي السهو).
Adapun metode takhrij hadis[1] yang peneliti pergunakan ada lima macam metode yang akan dijelaskan berikut ini.
1.  Metode Takhrij Melalui Salah Satu Lafal Matan Hadis
Metode takhrij yang digunakan untuk mencari lafal hadis tersebut adalah dengan metode salah satu lafal matan hadis. Kitab yang digunakan adalah Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adi>s al-Nabawi> karangan A.J. Wensinck dengan judul asli Concordance at Indices de la Tradition Musulmane yang diterjemahkan oleh Muh}ammad Fu’a>d ’Abd al-Ba>qi>.[2] Cara mencari salah satu lafal matan hadis dengan metode ini adalah dengan mengembalikan kata dasar dari lafal yang ingin dicari. Selanjutnya mencari sesuai dengan urutan abjad huruf hijaiyyah.
Setelah  melakukan penelusuran dengan metode ini, hasil yang didapatkan peneliti adalah sebagai berikut:
1.   سجدتي
·         فى سجدتي السهو تشهد : خ سهو 4[3]
·         سمى سجدتي السهو المرغمتين : د صلاة 191[4]
·         فلا يجلس سجدتي السهو : جه اقامة 131[5]
·         لم يسجد سجدتي السهوحتى يقنه الله ذاك : د صلاة 189[6]
·   سجد سجدتي السهو : م مساجد 93, 95, 102 – خ بدء الخلق 11 – د صلاة 189, 190, 195- ن سهو26- جه اقامة 70, 131, 134, 136- حم1: 379, 409, 419, 420, 456, 2: 532, 4: 253, 254[7]
2.   السهو
·         فى سجدتي السهو تشهد : خ سهو 4- د صلاة 196[8]
·         سمى سجدتي السهو المرغمتين : د صلاة 191[9]
·         فلا يجلس سجدتي السهو : جه اقامة 131[10]
·         كانا يسجدان سجدتي السهوقبل السلام : ت صلاة 171[11]
·   سجد ,فسجد, [ولم] يسجد, ليسجد, ويسجد سجدتي السهو : خ بدء الخلق 11 - م مساجد 93, 95, 102 – د صلاة 189, 195- ت صلاة 152, 172- ن سهو25, 26, 75, 76 - جه اقامة , 131, 134, 136- دى صلاة 176- ط نداء 62-  حم 1: 376, 379, 409, 420, 456, 2: 532, 3: 84, 4: 77, 253, 254[12] 
Maksud dari keterangan di atas yaitu:
1.      Lafal سجدتي dalam bab (huruf) س ditemukan sebanyak lima kali dalam bentuk potongan matan hadis, yaitu:
·      فى سجدتي السهو تشهد terdapat dalam S}ahi>h al-Bukha>ri>, kitab Sahwun, no. urut bab 4
·      سمى سجدتي السهو المرغمتين terdapat dalam Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab 191
·      فلا يجلس سجدتي السهو terdapat dalam Sunan Ibnu Ma>jah, kitab Iqa>mah, no. urut bab 131
·      لم يسجد سجدتي السهوحتى يقنه الله ذاك terdapat dalam Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab 189
·      سجد سجدتي السهو terdapat dalam:
Ø S{ahi>h Muslim, kitab Masa>jid, no. urut hadis 93, 95, dan 102
Ø S{ahi>h al-Bukha>ri>, kitab Bad al-Khalq, no.urut bab 11
Ø Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab 189, 190, dan 195
Ø Sunan al-Nasa>’i, kitab Sahwun, no.urut bab 26
Ø Sunan Ibnu Ma>jah, kitab Iqa>mah, no.urut bab 70, 131, 134, 136
Ø Musnad Ah}mad, juz 1: halaman 379, 409, 419, 420, 456. Juz 2: halaman 532. Juz 4: halaman 253, 254
2.      Lafal السهو dalam bab (huruf) س ditemukan sebanyak lima kali  dalam bentuk potongan matan hadis, yaitu:
·      فى سجدتي السهو تشهد terdapat dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, kitab Sahwun, no. urut bab 4 dan dalam Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab 196
·      سمى سجدتي السهو المرغمتين terdapat dalam Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab 191
·      فلا يجلس سجدتي السهو terdapat dalam Sunan Ibnu Ma>jah, kitab Iqa>mah, no. urut bab 131
·      كانا يسجدان سجدتي السهوقبل السلام terdapat dalam Sunan al-Tirmiz\i>, kitab salat, no. urut bab 171
·      سجد ,فسجد,وسجد, [ولم] يسجد, ليسجد, ويسجد سجدتي السهو terdapat dalam:
Ø S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, kitab Bad al-Khalq, no.urut bab 11
Ø S{ah}i>h} Muslim, kitab Masa>jid, no. urut hadis 93, 95, dan 102
Ø Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab 189, dan 195
Ø Sunan al-Tirmiz\i, kitab salat, no. urut bab 152, dan 172
Ø Sunan al-Nasa>‘i>, kitab Sahwun, no.urut bab 25, 26, 75, dan 76
Ø Sunan Ibnu Ma>jah, kitab Iqa>mah, no.urut bab 131, 134, dan 136
Ø Sunan al-Da>rami>, kitab Salat, no. urut bab 176
Ø Muwatt}a’ Ma>lik, kitab Nida>, no. urut hadis 62
Ø Musnad Ah}mad, juz 1: halaman 376, 379, 409, 420, 456. Juz 2: halaman 532. Juz 3: 84.Juz 4: halaman 77, 253, dan 254
Dari keterangan-keterangan di atas, dapat diketahui bahwa lafal سجدتي السهو memiliki duabelas  macam potongan  lafal matan hadis yang dirinci sebagai berikut:
1.              فى سجدتي السهو تشهد
2.              سمى سجدتي السهو المرغمتين
3.              فلا يجلس سجدتي السهو
4.              لم يسجد سجدتي السهوحتى يقنه الله ذاك
5.              كانا يسجدان سجدتي السهوقبل السلام
6.              سجد سجدتي السهو
7.              ويسجد سجدتي السهو
8.              فسجد سجدتي السهو
9.              يسجد سجدتي السهو
10.        ليسجد سجدتي السهو
11.        وسجد سجدتي السهو
12.        ولم يسجد سجدتي السهو
Objek kajian takhrij peneliti adalah lafal ويسجد سجدتي السهو. Setelah mencari (mengembalikan ke kitab sumber) matan lengkap lafal tersebut, ditemukan bahwa hadis tersebut adalah hadis qauliyah. Adapun bunyi hadis tersebut yaitu:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ يَعْنِي الْجُعْفِيَّ قَالَ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ شُبَيْلٍ الْأَحْمَسِيُّ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ الْإِمَامُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ ذَكَرَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوِيَ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ اسْتَوَى قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَيْسَ فِي كِتَابِي عَنْ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ إِلَّا هَذَا الْحَدِيثُ[13]
2.  Metode Takhrij Melalui Lafal Pertama Matan Hadis
Setelah mengetahui matan hadis tersebut secara lengkap, langkah selanjutnya adalah takhrij dengan metode lafal pertama. Kitab yang peneliti pergunakan adalah Fath al-Kabi>r fi> D{amm al-Ziya>dah ila> Jami>’ al-S{agi>r  karangan al-Hafi>z} Jala>l al-Di>n Abu> al-Fad}l ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> Bakr Muh}ammad al-Khud}airi> al-Suyu>t}i> al-Syafi>’i atau lebih dikenal dengan Imam al-Suyu>t}i.[14] Lafal pertama yang dipergunakan adalah  إذا قام الإمام  . Hasil yang didapatkan yaitu:
إذا قام الإمام في الركعتين فإن ذكر قبل أن يستوي قائما فليجلس فإن استوى قائما فلا يجلس ويسجد سجدتي السهو ) حم  د ه هق) عن المغيرة[15]
Maksud dari keterangan di atas yaitu:
Hadis ini terdapat dalam Musnad Ah}mad (حم) Sunan Abu> Da>wud (د) Sunan Ibnu Ma>jah (ه) dan al-Ima>m al-Baih}aqi> dalam kitab al-Sunan al-Kubra> ( هق), Diriwayatkan oleh al-Mugi>rah (rawi a‘la>).
3.  Metode Takhrij Melalui Periwayat Pertama Hadis
Langkah berikutnya yaitu takhrij hadis dengan metode periwayat pertama (rawi a’la>). Kitab yang dipergunakan adalah Tuh}fath al-Asyra>f bi Ma‘rifah al-At}ra>f karangan al-Hafi>z} al-Muh}aqqiq Muh}addis\ al-Sya>m Jama>l al-Di>n Abu> al-H{ajja>j Yu>suf ibn al-Zakki> ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Yu>suf al-Qadla>‘i> al-Kalbi> al-Mizzi> al-Dimasyqi> al-Syafi>‘i> atau dikenal dengan Imam al-Mizzi>.[16] Periwayat pertama dalam hadis tersebut adalah al-Mugi>rah ibn Syu‘bah. Hasil yang didapatkan sebagai berikut:
 * 11525 (د (ت) ق) حديث: إذا قام الإمام في الركعتين، فإن ذكر قبل أن يستوي قائماً فليجلس... الحديث. د في الصلاة (202: 1) عن الحسن بن عمرو، عن عبد الله بن الوليد (ت فيه الصلاة 153: 1 تعليقاً: رواه سفيان، عن جابر، عن المغيرة بن شُبيل، عنه به). ق فيه (الصلاة170: 3) عن محمد بن يحيى، عن محمد بن يوسف كلاهما عن سفيان، عن جابر الجعفي، عن المغيرة بن شبل الأحمسي، عنه به. رواه زيد بن أبي أنيسة، عن جابر مثله. [17]
Maksud dari keterangan di atas yaitu:
·      Tanda satu bintang sebelum angka berarti periwayat kedua merupakan tabi’in dan diriwayatkan dari sahabat.
·      Angka 11525 adalah urutan hadis dalam kitab ini
·      Teks (د (ت) ق) حديث) berarti hadis ini dikeluarkan oleh Abu> Da>wud, al-Tirmiz\i, dan al-Baih}aqi>.
·      Titik-titik yang terletak setelah penggalan matan mengisyaratkan bahwa hadis itu belum selesai.
·      Huruf د berarti dikeluarkan oleh Abu> Da>wud dalam Sunan-nya, pada kitab الصلاة , no. urut bab 202, hadis pertama dalam bab tersebut, dengan sanad pertama al-H{asan ibn ‘Amr dan sanad kedua ‘Abd Allah ibn al-Walid.
·      Huruf ت berarti dikeluarkan oleh al-Tirmiz\i dalam Sunan-nya, pada kitab  الصلاة , no. urut bab 153, hadis pertama dalam bab tersebut,  diriwayatkan oleh Sufya>n, dari Ja>bir, dari al-Mugi>rah ibn Syubail.
·      Huruf ق berarti dikeluarkan oleh Ibnu Ma>jah al-Qazwa>ni> dalam Sunan-nya, pada kitab  الصلاة, no. urut bab 170, hadis ketiga dalam bab tersebut, dengan sanad pertama Muh}ammad ibn Yah}ya> dan sanad kedua Muh}ammad ibn Yu>suf yang kedua orang ini juga meriwayatkan dari Sufya>n, dari Ja>bir, dari al-Mugi>rah ibn Syubail al-Ah}masy. Diriwayatkan oleh Za>id ibn Abi> Ani>sah, dari Ja>bir dan semisalnya.
4.  Metode Takhrij Menurut Tema Hadis
Metode selanjutnya yang dipergunakan adalah takhrij dengan metode bi al-Maudhu’ (tema). Kitab yang dipakai adalah  Kanz al-‘Umma>l fi> Sunan al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l karangan Syeikh Imam ‘A<lim Kabi>r Muh}addis\ ‘Ali> ibn H{isa>m al-Di>n ‘Abd al-Malik ibn Qa>d}i> Khan, terkenal dengan sebutan Imam al-Muttaqi>.[18]
Cara mentakhrij hadis dengan metode ini yaitu terlebih dahulu menentukan tema hadis yang dicari. Tema hadis di atas adalah adalah tema salat, karena berkaitan dengan tata cara mengerjakan sujud sahwi dalam pelaksanaan salat. Langkah selanjutnya yaitu mencari tema الصلاة dengan urutan alfabet huruf hijaiyyah yaitu huruf shad ص)). Kemudian melakukan penelusuran hadis dengan lafal pertama (إذا قام الإمام) secara alphabet huruf hijaiyyah. Hasil yang diperoleh penyusun adalah sebagai berikut:
19821. إذا قام الامام في الركعتين فان ذكر قبل أن يستوي قائما فليجلس ، فان استوى قائما فلا يجلس ، ويسجد سجدتي السهو. (حم د  ه هق عن المغيرة)[19]
Maksud dari keterangan di atas yaitu:
·         Nomor urut hadis tersebut dalam kitab  ini adalah 19821
·         Terdapat dalam Musnad Ah}mad (حم) Sunan Abu> Da>wud (د) Sunan Ibnu Ma>jah (ه) dan al-Ima>m Baih}aqi> dalam kitab al-Sunan al-Kubra (هق)
·         Diriwayatkan oleh al-Mugi>rah (rawi a‘la>).
5.  Metode Takhrij Berdasarkan Status Hadis
Metode terakhir yang dipergunakan adalah takhrij dengan metode status hadis. Kitab yang dipakai adalah Silsilah al-Aha>di>s\ al-S{ah}i>h}ah karangan Muh}ammad Nas}i>r al-Di>n al-Alba>ni>.[20] Untuk mencari hadis dalam kitab ini, terlebih dahulu harus mengtahui status hadis dari segi kualitasnya. Hadis yang dikaji dalam makalah ini berstatus hadis s}ah}i>h} (صحيح). Kemudian melakukan penelusuran matan hadis mulai dari no. urut pertama karena hadis-hadis yang dimuat dalam kitab ini tidak disusun berdasarkan alphabet huruf hijaiyyah. Hasil yang didapatkan penyusun yaitu:
321 - " إذا قام الإمام في الركعتين ، فإن ذكر قبل أن يستوي قائما فليجلس ، فإن استوى قائما فلا يجلس ، و يسجد سجدتي السهو " .
أخرجه أبو داود ( 1036 ) و ابن ماجه ( 1208 ) و الدارقطني ( 145 ) و البيهقي
( 2 / 343 ) و أحمد ( 4 / 253 ، 253 - 254 ) من طريق جابر الجعفي ، قال : حدثناالمغيرة بن شبيل الأحمسي عن قيس بن أبي حازم عن المغيرة بن شعبة قال :قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فذكره .[21]
Maksud dari keterangan di atas adalah sebagai berikut:
·      Nomor urut hadis dalam kitab ini adalah 321
·      Hadis ini dikeluarkan oleh Abu> Da>wud dalam kitab Sunan-nya, nomor urut hadis 1036
·      Oleh Ibnu Ma>jah dalam kitab Sunan-nya, nomor urut hadis 1208
·      Oleh al-Da>ruqut}ni> dalam kitab Sunan-nya, nomor urut hadis 145
·      Oleh al-Baih}aqi> dalam kitab al-Sunan al-Kubra’-nya, jilid 2 halaman 343
·      Oleh Ah}mad ibn H{ambal dalam kitab Musnad-nya, jilid 4 halaman 253 dan 254
·      Periwayatan hadis ini dari jalur Ja>bir al-Ja‘fi>, beliau berkata: al-Mugi>rah ibn Syubail al-Ah}masy menceritakan kepada kami, dari Qais ibn Abi> H{azm, dari al-Mugi>rah ibn Syu‘bah beliau berkata, Rasulullah saw. bersabda (maka Nabi menyebut matan hadis di atas).
B. Hadis-Hadis Tentang Dua Sujud Sahwi
Setelah melakukan  penelusuran melalui lima metode takhrij hadis ini dan batasan kitab sumber yang digunakan adalah Kutub al-Tis‘ah, peneliti menyimpulkan bahwa hadis tentang dua sujud sahwi dengan kasus yang sama yang telah disebutkan di atas  terdapat dalam tiga kitab dengan jumlah riwayat empat. Adapun rinciannya sebagai berikut:
a.       Dalam Sunan Abu Dawud terdapat 1 riwayat; terletak di kitab al-S{ala>h, bab man nasiya ‘an yatasyahhadah wahua ja>lisun, juz 1, halaman 338, nomor hadis 1036, yang berbunyi:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ يَعْنِي الْجُعْفِيَّ قَالَ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ شُبَيْلٍ الْأَحْمَسِيُّ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ الْإِمَامُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ ذَكَرَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوِيَ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ اسْتَوَى قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَيْسَ فِي كِتَابِي عَنْ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ إِلَّا هَذَا الْحَدِيثُ[22]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami al-H{asan ibn ‘Amr dari ‘Abd Allah ibn Wali>d dari Sufya>n dari Ja>bir yaitu al-Ju‘fi> dia berkata; telah menceritakan kepada kami al-Mugi>rah ibn Syubail al-Ah}masi> dari Qais ibn Abi> H{a>zim dari al-Mugi>rah ibn Syu‘bah dia berkata; Rasulullah saw. bersabda; "Apabila seorang imam terlanjur berdiri pada raka'at kedua, dan ingat sebelum berdiri tegak, hendaknya ia kembali duduk, dan apabila telah berdiri tegak hendaknya ia tidak duduk dan sujudlah dua kali yaitu sujud sahwi." Abu> Da>wud berkata; "Dan dalam kitabku tidak di sebutkan dari Ja>bir al-Ju‘fi> kecuali dari hadis ini."
b.      Dalam Sunan Ibnu Majah terdapat 1 riwayat; terletak di kitab Iqa>mah al-S{ala>h wa al-Sunnah Fi>ha>, bab ma> Ja’a fi >man qa>ma min is\natain sahiya>n, juz 1, halaman 381, nomor hadis 1208, yang berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ جَابِرٍ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُبَيْلٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ[23]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muh{ammad ibn Yah}ya> berkata, telah menceritakan kepada kami Muh}ammad ibn Yu>suf berkata, telah menceritakan kepada kami Sufya>n dari Ja>bir dari al-Mugi>rah ibn Syubail dari Qais ibn Abi> H{a>zim dari al-Mugi>rah ibn Syu‘bah ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda: "Jika salah seorang dari kalian berdiri pada raka'at kedua namun belum sempurna dalam berdirinya, hendaklah ia duduk. Namun jika telah tegak berdiri janganlah duduk, hendaklah ia sujud sahwi dengan dua kali sujud. "
c.       Dalam Musnad Ahmad terdapat 2 riwayat, terletak di bab Hadis al-Mugi>rah ibn Syu‘bah, juz 4, halaman 253, nomor hadis 18222 dan 18223, yang berbunyi:
حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ جَابِرٍ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شِبْلٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ أَمَّنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الظُّهْرِ أَوْ الْعَصْرِ فَقَامَ فَقُلْنَا سُبْحَانَ اللَّهِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يَعْنِي قُومُوا فَقُمْنَا فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ إِذَا ذَكَرَ أَحَدُكُمْ قَبْلَ أَنْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ وَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ[24]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Aswad ibn ‘A<mir telah menceritakan kepada kami Isra>`i>l dari Ja>bir dari al-Mugi>rah ibn Syibl dari Qais ibn Abi> H{a>zim dari al-Mugi>rah ibn Syu‘bah ia berkata, "Rasulullah saw. pernah mengimami kami shalat zhuhur atau ashar, lalu beliau (langsung) berdiri (pada rakaat kedua) hingga kami membaca, "SUBHAANALLAH." Dan beliau membaca: "SUBHAANALLAH." Lalu beliau memberikan isyarat agar mereka berdiri, maka kami pun berdiri. Selesai shalat beliau langsung sujud dua kali lalu bersabda: "Jika salah seorang dari kalian ingat sebelum tegak berdiri maka hendaknya ia duduk, tetapi jika telah tegak berdiri maka janganlah ia duduk."
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ سَمِعْتُ سُفْيَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شِبْلٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ وَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدُ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ[25]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Hajja>j ia berkata, aku mendengar Sufya>n dari Ja>bir ibn ‘Abd Allah dari al-Mugi>rah ibn Syibl dari Qais ibn Abi> H{a>zim dari al-Mugi>rah ibn Syu‘bah ia berkata, "Rasulullah saw. bersabda: "Jika salah seorang dari kalian berdiri dan belum tegak dalam berdirinya maka hendaknya ia duduk. Tetapi jika telah tegak maka janganlah ia duduk (kembali), dan hendaklah ia sujud sahwi dengan dua kali sujud."
C. I‘tiba>r Hadis Tentang Dua Sujud Sahwi
Sebelum melangkah ke kritik hadis dan yang berkaitan dengannya, terlebih dahulu penyusun menentukan salah satu hadis yang menjadi objek kajian, yaitu sebagai berikut:
حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ قَالَ سَمِعْتُ سُفْيَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شِبْلٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ وَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدُ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ[26]
Setelah melakukan takhri>j akan dilakukan i‘tiba>r.[27] Dengan i‘tiba>r, akan terlihat keseluruhan sanad hadis dan mengetahui ada atau tidak ada pendukung berupa periwayat yang berstatus sya>hid atau muta>bi’.[28] Demikian pula akan diketahui nama-nama periwayatnya dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.
Sebagaimana telah disebutkan di sub bab sebelumnya, hadis tersebut  dalam al-kutub al-tis‘ah, ditemukan sebanyak 4 riwayat. Dengan rincian 1 riwayat dalam Sunan Abu> Da>wud, 1 riwayat dalam Sunan Ibnu Ma>jah, dan 2 riwayat dalam Musnad Ah}mad.[29] Untuk lebih jelasnya, berikut adalah skema  sanad hadis tentang dua sujud sahwi.
D. Kritik Sanad
a.       Ah{mad ibn H{ambal bernama lengkap Ah{mad ibn Muh{ammad ibn H{ambal ibn Hila>l ibn Asad ibn Idri>s ibn ‘Abdillah al-Syaiba>ni al-Marwazi>. Dia lahir pada bulan Rabi’ al-Awal tahun 164 H. di Bagda>d. Ada juga yang berpendapat di Marwin dan wafat pada hari Jum’at bulan Rajab 241 H.[30] Dia adalah seorang muh{addis\ sekaligus mujtahid. Dia menghafal kurang lebih 1 juta hadis dan pernah berguru kepada al-Sya>fi‘i>. Dialah penyusun kitab Musnad Ah}mad.[31]
b.      H{ajja>j. Nama lengkapnya adalah Hajja>j ibn Muh{ammad. Dia wafat pada tahun 206 H di Bagdad. Guru-gurunya antara lain Isra>i>l ibn Yu>nus, Ismail ibn Khali>fah, dan Sufya>n ibn Sa‘i>d. murid-muridnya antara lain Ibra>hi>m ibn H{asan, Ibra>hi>m ibn Di>na>r, dan Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H}ambal. ‘Ali> ibn al-Madi>ni> dan al-Nasa>i> menilainya s\iqah. Muhammad ibn Sa‘d menilainya s\iqah s}udu>q.[32]
c.       Sufya>n. Nama lengkapnya adalah Sufya>n ibn Sa‘i>d ibn Masru>q. Ia wafat pada tahun 161 H di Basrah. Guru-gurunya antara lain A<dam ibn Sulaima>n, Ibra>hi>m ibn ‘Umar, dan Ja>bir ibn Yazi>d ibn Hars\. Murid-muridnya antara lain Ibra>hi>m ibn Sa‘d, Ish}aq ibn Isma>‘i>l, dan Hajjaj ibn Muh}ammad. Ma>lik ibn Anas dan Yahya ibn Ma‘i>n menilainya s\iqah. Syu‘bah ibn H{ajja>j menyebutnya ami>r al-mu‘mini>n fi al-h}adis\.[33]
d.      Ja>bir ibn ‘Abd Allah. Nama aslinya adalah Ja>bir ibn Yazi>d ibn H{ars\. Ia wafat pada tahun 128 H. Guru-gurunya antara lain Abu> H{uraiz, H{ami>d ibn Hila>l, dan al-Mugi>rah ibn Syubail. Murid-muridnya antara lain Isra>i>l ibn Yu>nus, H{afs} ibn ‘Umar, dan Sufya>n ibn Sa‘i>d. Syu‘bah ibn H{ajja>j menilainya s}udu>q. Waki>‘ ibn Jara>h} menilainya s\iqah. Ah}mad ibn H>{ambal menilainya yakz\ib. Yah}ya> ibn Ma‘i>n menilainya kaz\b.[34]
e.       Al-Mugi>rah ibn Syubail. Nama lengkapnya adalah al-Mugi>rah ibn Syubail ibn ‘Auf. Tidak diketahui tahun wafatnya. Guru-gurunya antara lain Jari>r ibn ‘Abd Allah, ‘Umar ibn Syarh}i>l, dan Qais ibn Abi> H{a>zim H{us}ain. Murid-muridnya antara lain Ja>bir ibn Yazi>d ibn H{ars\, Da>wud ibn Yazi>d, dan Yu>nus ibn Abi> Ish}aq. Ibnu H{ibba>n dan Yah}ya> ibn Ma‘i>n menilainya s\iqah. Abu> H{a>tim al-Ra>zi> menilainya la> ba’s\a bih.[35]
f.        Qais ibn Abi> H{a>zim. Nama lengkapnya adalah Qais ibn Abi> H{a>zim H{us}ain. Ia wafat pada tahun 97 H. Guru-gurunya antara lain Bila>l ibn Raba>h}, Jari>r ibn ‘Abd Allah, dan al-Mugi>rah ibn Syu‘bah. Murid-muridnya antara lain Ibra>hi>m ibn Jari>r, Isma>‘i>l ibn Abi> Khuld, dan al-Mugi>rah ibn Syubail. Yah}ya> ibn Ma‘i>n menilainya aus\aqun min al-Zuhri>. Ya‘qub ibn Syu‘bah menilainya muttaqinun liriwa>yatih. Ibnu H{ibba>n menilainya s\iqah.[36]
g.      Al-Mugi>rah ibn Syu‘bah. Nama lengkapnya adalah al-Mugi>rah ibn Syu‘bah ibn Abi> ‘Umar. Ia wafat pada tahun 50 H. Guru-gurunya antara lain Nabi saw., dan ‘Us\ma>n ibn ‘Affa>n. Murid-muridnya antara lain Aslam maula’ ‘Umar, al-Aswad ibn Hila>l, dan Qais ibn Abi> H{a>zim H{usain.[37]
E. Kritik Matan
Menurut M. Syuhudi Ismail, langkah-langkah metodologis kegiatan penelitian matan hadis dapat dikelompokkan dalam tiga bagian penelitian matan dengan melihat kualitas sanadnya, penelitian susunan lafal berbagai matan yang semakna dan penelitian kandungan matan.[38]
Dengan demikian, dalam makalah ini, penulis menggunakan tiga langkah metodologis tersebut sebagai acuan.
a.     Kualitas sanad
Setelah melakukan penelitian terhadap sanad hadis yang menjadi objek kajian dalam makalah ini, ditemukan bahwa sanad hadis tersebut dianggap d}a‘i>f karena ada satu perawinya yang dinilai lemah (ضعيف رفضى), yaitu Ja>bir ibn Yazi>d ibn H{ars\. Dengan demikian kritik matan tidak  dapat dilanjutkan.
Tingkatan jarh} perawi ini adalah tingkatan ke-5 menurut Ibnu H{ajar al-As\qala>ni>.[39] Meskipun sanad hadis ini cacat, tetapi matan hadis ini tidak  bertentangan dengan al-Qur‘an karena kandungan hadis ini adalah kekhilafan atau kelupaan seseorang dalam melaksanakan ibadah salat, tetapi diberikan alternatif untuk memperbaikinya atau dengan melakukan sujud sahwi karena kelupaan itu. Allah swt. tidak memberatkan dan juga tidak menghukum hamba-hambanya karena kesalahan yang disebabkan oleh lupa.
Allah swt. berfirman dalam surah al-Ah}za>b [33]: 5
}§øŠs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JŠÏm§ ÇÎÈ  
Terjemahnya:
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[40]
Kemudian adanya hadis s}ah}i>h} yang menguatkan hadis tersebut, yaitu hadis riwayat al-Bukha>ri> dari Abu> Hurairah:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ أَبِي تَمِيمَةَ السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ مِنْ اثْنَتَيْنِ فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ[41]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd Allah ibn Maslamah dari Ma>lik ibn Anas dari Ayyu>b ibn Abi> Tami>mah al-Sakhtiya>ni> dari Muh}ammad ibn Si>ri>n dari Abu> Hurairah berkata, "Ketika Rasulullah telah selesai dari shalat dua rakaat, Z\ul Yadain berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, shalatnya sengaja diqashar atau tuan yang lupa?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu berkata: "Apakah benar yang dikatakan Zul Yadain?" Orang-orang menjawab: "Benar." Maka Rasulullah saw. pun bediri dan mengerjakan shalat dua rakaat yang kurang kemudian salam. Kemudian beliau takbir lalu sujud seperti sujudnya (yang biasa) atau lebih lama lagi."
Untuk lebih memperkuat argumen di atas, berikut kritik sanad hadis yang menguatkan hadis tentang dua sujud sahwi sebagai bukti bahwa hadis tersebut adalah hadis s}ah}i>h}.
v  Kritik sanad hadis yang menguatkan hadis tentang dua sujud sahwi
a.       Al-Bukha>ri>. Nama lengkapnya adalah Muh}ammad ibn Isma>‘i>l ibn Ibra>hi>m ibn al-Mugi>rah ibn Bardizbah al-Bukha>ri>. Nama kuniyahnya adalah Abu> ‘Abd Allah. Beliau lahir di Bukha>ra> pada hari Jum'at setelah shalat Jum'at 13  Syawwal 194 H. Ia wafat pada beliau meninggal pada hari sabtu  tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam  Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari.[42] Beliau dimakamkan selepas Shalat  Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri.[43] Guru-guru beliau antara lain Abu> ‘A<s}im al-Nabi>l, ‘Ubaidullah ibn Musa, dan Makki> ibn Ibra>hi>m.[44] Dialah penyusun  kitab Jami>‘ al-S{ah}i>h} al-Bukha>ri>.
b.      ‘Abd Allah ibn Maslamah. Nama lengkapnya adalah ‘Abd Allah ibn Maslamah ibn Qa‘nab. Nama kuniyahnya adalah Abu> ‘Abd Rah}ma>n. beliau wafat di Bas}rah pada tahun 221 H.[45] di antara guru beliau yaitu Aflah} ibn H{ami>d ibn Naf‘, Anas ibn ‘Aid ibn D}amrah, dan Ma>lik ibn Anas. Sedangkan murid-muridnya antara lain Ah}mad ibn H{asan ibn Junaidab, Ish}a>q ibn Mans}u>r ibn Bahram, dan ‘Amr ibn Mans}u>r. Yah}ya ibn Ma‘i>n menilainya s\iqah ma’mu>n. Abu> Ha>tim al-Ra>zi> menilainya s\iqah hujjah. Al-‘Ajali> menilainya s\iqah.[46]
c.       Ma>lik ibn Anas. Beliau bernama lengkap Ma>lik ibn Anas ibn A<mir al-As}bah}i> al-Madani>. Dia lahir pada tahun 93 H di Madinah dan wafat pada tahun 179 H. Dia adalah seorang muh}addis\ sekaligus fuqaha>.[47] Di antara gurunya adalah Na>fi‘, Ayyu>b ibn Abi> Tami>mah al-Syakhtiya>ni>, dan Ibn Syih}a>b al-Zuhri>. Murid-muridnya antara lain Ibra>hi>m ibn ‘Umar ibn Mat}raf,  ‘Abd Allah ibn Maslamah ibn Qa‘nab, dan Ah}mad ibn Isma>‘i>l ibn Muh}ammad. Dialah penyusun kitab al-Muwatt}a’.[48] Imam al-Syafi>‘I berkata: dia adalah hujjah Allah terhadap makhluknya. Yah}ya ibn Aks\am dan Yah}ya ibn Ma‘i>n menilainya s\iqah.[49]
d.      Ayyu>b ibn Abi> Tami>mah al-Syakhtiya>ni>. Nama lengkapnya adalah Ayyu>b ibn Abi> Tami>mah Kaisa>n. Nama nasabnya adalah al-Syakhtiya>ni>. Nama kuniyahnya adalah Abu> Bakr. Beliau wafat pada tahun 131 H.[50] Guru-gurunya antara lain Ibra>hi>m ibn Maisarah, Anas ibn Si>ri>n, dan Muh}ammad ibn Si>ri>n. Murid-muridnya antara lain Isma>‘i>l ibn Ibra>hi>m ibn Maqsam, Ibra>hi>m ibn T{ahman ibn Syu‘bah, dan Ma>lik ibn Anas. Yah}ya ibn Ma‘i>n menilainya s\iqah.  Muh}ammad ibn Sa‘d menilainya s\iqah s\a>bit hujjah. Al-Nasa>i> menilainya s\iqah s\abit.[51]
e.       Muh}ammad ibn Si>ri>n. Ia adalah maula>’ (mantan budak) Anas ibn Ma>lik, sahabat sekaligus pelayan Nabi saw. Nama nasabnya adalah al-Ans}a>ri>. Nama kuniyahnya adalah Abu> Bakr. Beliau wafat di Bas}rah pada tahun 110 H.[52] di antara gurunya yaitu Abu> ‘Ubaidah ibn H{uz\aifah ibn al-Yaman, Jundub ibn ‘Abd Allah ibn Sufya>n, dan Abu> Hurairah. Sedangkan murid-muridnya antara lain Asma>’ ibn ‘Ubaid ibn Makhraq, Asy‘as\ ibn Suwar, dan Ayyu>b ibn Abi> Tami>mah Kaisa>n. Ah}mad ibn Hambal dan Yah}ya ibn Ma‘i>n menilainya s\iqah. Muh}ammad ibn Sa‘d menilainya s\iqah ma’mu>n.[53]
f.        Abu> Hurairah. Nama aslinya adalah Abd al-Rah}ma>n ibn Sakhr. Nama nasabnnya adalah al-Yama>ni>. Abu> Hurairah adalah nama kuniyahnya. Beliau wafat di Madinah pada tahun 57 H. guru-gurunya antara lain Nabi saw., Ubay ibn Ka‘b ibn Qais, dan Bas}rah ibn Abi> Bas}rah. Murid-muridnya antara lain Muh}ammad ibn Si>ri>n, Ibra>hi>m ibn Isma>‘i>l, dan Ibra>hi>m ibn ‘Abd Allah ibn Hunain.[54]
Setelah melakukan kritik sanad, dapat dilihat bahwa sanad hadis ini adalah s}ah}i>h} karena semua periwayatnya s\iqah dan sanadnya bersambung.
F.  Kesimpulan
Setelah melakukan kritik sanad dan kritik matan, peneliti menyimpulkan bahwa hadis yang menjadi objek kajian tidak memenuhi syarat kesahihan hadis dari segi sanadnya karena ada satu  perawi yang dinilai lemah. Maka kualitas hadis ini adalah d}a‘i>f. Meskipun demikian, ditinjau dari segi matannya ternyata hadis tersebut bebas dari sya>z\ dan ‘illah, karena adanya hadis s}ahi>h yang mendukungnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa kulitas hadis ini menjadi h}asan ligairih karena derajat hadis tersebut terangkat oleh hadis s}ah}i>h} yang mendukungnya. Sekalipun demikian, Al-Alba>ni> berpendapat bahwa hadis ini s}ah}i>h ligairih.[55]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Afrīqī, Muh{ammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r. Lisān al-‘Arab. Juz. Cet. I; Beirut: Dār S}ādir, t.th.
Al-Alba>ni>, Muh}ammad Nas}i>r al-Di>n. Silsilah al-Ah}a>di>s\ al-S{ah}i>h}ah.  Riya>d}: Maktabah al-Ma‘a>rif, t.th.
‘Alimi, Ibnu Ah}mad. Tokoh Dan Ulama Hadis. Sidoarjo: Mashun, 2008 M.
Al-As\qala>ni>, Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar Syiha>b al-Di>n. Tahzi>b al-Tahzi>b. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, t.th.
Al-‘Azdi>, Sulaima>n ibn Asy‘as\ Abu> Da>wud al-Sajista>ni>. Sunan Abu> Da>wud. Baerut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Ba>ji>, Abu> al-Wali>d Sulima>n ibn Khalaf. al-Ta‘di>l wa al-Tajri>h{. Cet. I; al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’ li al-Nasyr wa al-Tauzi>‘, 1406 H./1986 M.
Al-Bukha>ri, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>. Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.
_________, ‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l. al-Ta>rikh al-Kabi>r. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Dahlawi>, ‘Abd al-H{|||a|||||q ibn saif al-Di>n ibn Sa‘dulla>h. Muqaddimah fi> Us}u>l al-H{adi>s.\ Cet. II; Beirut: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah, 1986 M.
Al-Fauri>, Ali> al-Muttaqi> ibn H{isa>m al-Di>n al-‘Indi> al-Burha>n. Kanz al-‘Umma>l fi> Sunan al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l. t.t.: Muassasah  al-Risalah, t.th.
Al-Ha>di>, Abu Muh}ammad Mahdi ibn ‘Abd al-Qadi>r ibn ‘Abd. T{uruq Takhri>ji H{adi>s\ al-Rasu>l Allah S{allalla>hu ‘Alaih wa Sallam. Cet. I; Beirut: Da>r al-I‘tis}a>m, 1994.
Al-‘Ijli>, Abu> al-H{usain Ah{mad ibn ‘Abdillah ibn S{a>lih.{ Ma‘rifah al-S|iqa>t. Cet. I; al-Madi>nah al-Munawwarah, Maktabah al-Da>r, 1405 H./1985 M.
Ismail, M. Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Cet. II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995 M.
_________, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Karma>ni. al-Bukha>ri> bi Syarh} al-Karma>ni>. Cet. II; Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1401 H./1981 M.
Khalka>n, Abu> al-‘Abba>s Ah{mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn. Wafaya>t al-A‘ya>n wa Anba>’ Abna>’ al-Zama>n. Beirut: Da>r S{a>dir, 1900 M.
Khon, H. Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet. IV; Jakarta: Amzah, 2010.
Al-Mana>wi>, Abd al-Rau>f. Faid} al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r. Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.
Al-Mizzi>, Tahzi>b al-Kama>l fi> Asma>’ al-Rija>l. Cet. II; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1403 H/ 1983 M.
________, Jama>l al-Di>n Abu> al-H{ajja>j Yu>suf. Tuh}fath al-Asyra>f bi Ma‘rifah al-At}ra>f. t.t.: Da>r al-Qayyimah, t.th.
Al-Qat}t}a>n, Manna>'. Maba>hi>s| fi> ‘Ulu>m al-Hadi>s\|. Cet. IV; Kairo: Maktabah Wahbah, 1425 H./ 2004 M.
Al-Qazwa>ni>, Muh}ammad ibn Yazi>d Abu> ‘Abd Allah. Sunan Ibnu Ma>jah. Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Ra>zi>, Abu> Muh{ammad ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> H}a>tim. al-Jarh{ wa al-Ta‘di>l. Cet. I; Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1271 H./1952 M.
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Cet 8; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008 M.
Solahuddin,  M. & Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Al-Suyu>t}i,  Fath al-Kabi>r fi> D{amm al-Ziya>dah Ila> Jami>’ al-S{agi>r. Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.
Al-Suyu>t}i>, Abu> al-Fad}l Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n. al-Tausyi>h} Syarh} al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h}. Cet. I; al-Riya>d}: Maktabah al-Rusyd, 1419 H./1998 M.
Al-Syaiba>ni>, Ah}mad ibn H{ambal Abu> ‘Abd Allah. Musnad al-Ima>m Ah}mad ibn H{ambal. Cairo: Muassasah Qartiyah, t.th.
Al-Syaira>zi>, Abu> Ish{a>q. T{abaqa>t al-Fuqaha>’. Beirut: Da>r al-Ra>id al-‘Arabi>, 1970 M.
Al-T{ah}h}a>n, Mah}mu>d Usu>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d (Cet. III; Riya>d: Maktabah al-Ma‘a>rif li al-Nasyri wa al-Tauzi>‘, 1417 H/ 1996 M.
Al-T{ah}h}a>n, Mah}mu>d. Us}u>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d. Cet. III; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H./1996 M.
Al-Tami>mi, al-S|iqa>t. Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1395 H./1975 M.
Al-Tami>mi>, Abu> H{a>tim Muh{ammad ibn H{ibba>n ibn Ah}mad. Masya>hi>r ‘Ulama>’ al-Ams}a>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1959 M.
Wensinck, A.J. Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adis al-Nabawi>. Leiden: Maktabah Baril, 1936 M.
Al-Z||ahabi>, Syams al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad ibn ‘Us\ma>n. Siyar A‘la>m al-Nubala>’. Cet. IX; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1413 H./1993 M.
Zakariyya>, Abu> al-H{usain Ah}mad ibn Fa>ris ibn. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah. Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M.



[1]Menurut bahasa, kata takhri>j adalah bentuk masdar dari kata kharraja-yukharriju-takhri>jan, berakar dari huruf-huruf kha, ra, dan jim, mempunyai dua makna dasar yaitu: al-nafa>z\ ‘an al-syai’ yang artinya menembus sesuatu dan ikhtila>f launain yang artinya perbedaan dua warna. Lihat Abu> al-H{usain Ah}mad ibn Fa>ris ibn Zakariyya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz II (Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M), h. 175. Kata takhri>j memiliki makna memberitahukan dan mendidik atau bermakna memberikan warna berbeda. Lihat Muh{ammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r al-Afrīqī, Lisān al-‘Arab, Juz. II (Cet. I; Beirut: Dār S}ādir, t. th.), h. 249. Menurut Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, takhri>j pada dasarnya mempetemukan dua perkara yang berlawanan dalam satu bentuk. Mah}mu>d al-T}ah}h}a>n, Us}u>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d (Cet. III; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H./1996 M), h. 7. Kata Hadis berasal dari bahasa Arab al-hadi>s|, jamaknya adalah al-ah}a>di>s\ berarti sesuatu yang sebelumnya tidak ada (baru). Lihat Ibn Fa>ris, op. cit., Juz. II, h. 28. Sedangkan dalam istilah muhaddis\u>n,  hadis adalah segala apa yang berasal dari Nabi Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan ( taqrir ), sifat, atau sejarah hidup. Lihat Manna>' al-Qat}t}a>n, Maba>hi>s| fi> Ulu>m al-Hadi>s|. (Cet. IV: Kairo; Maktabah Wahbah, 1425 H./ 2004 M.), h. 15. Ulama beragam dalam memberikan defenisi takhri>j al-h{adi>s\, namun defenisi yang paling sering digunakan adalah  “Mengkaji dan melakukan ijtihad untuk membersihkan hadis dan menyandarkannya kepada mukharrij-nya dari kitab-kitab al-ja>mi’, al-sunan dan al-musnad setelah melakukan penelitian dan pengkritikan terhadap keadaan hadis dan perawinya”. Lihat: Abd al-Rau>f al-Mana>wi>, Faid} al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r, Juz I (Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.), h. 17. 
[2]Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis (Cet. IV; Jakarta: Amzah, 2010), h. 119.
[3]A.J. Wensinck, Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z} al-H{adis al-Nabawi>, Juz II (Leiden: Maktabah Baril, 1936 M), h. 423
[4]Ibid.
[5]Ibid., h. 424
[6]Ibid.
[7]Ibid., h. 423
[8]A.J. Wensinck, op.cit., juz 3 h.11
[9]Ibid.
[10]Ibid.                                                                                                                                         
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]Sulaima>n ibn Asy‘as\ Abu> Da>wud al-Sajista>ni> al-‘Azdi>, Sunan Abu> Da>wud, juz I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 338. Selanjutnya disebut Abu> Da>wud.
[14]Abu Muh}ammad Mahdi ibn ‘Abd al-Qadi>r ibn ‘Abd al-Ha>di>, T{uruq Takhri>ji H{adi>s\ al-Rasu>l Allah S{allalla>hu ‘Alaih wa Sallam (Cet. I; Beirut: Da>r al-I‘tis}a>m, 1994), h. 61.
[15]Jala>l al-Di>n Muh}a>mmad al-Suyu>t}i>, Fath al-Kabi>r fi> D{amm al-Ziya>dah Ila> Jami>’ al-S{agi>r,  juz I (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.), h. 139.
[16]Drs. M. Solahuddin, M.Ag & Agus Suyadi, Lc., M.Ag, Ulumul Hadis (Cet. I; Bandung Pustaka Setia, 2009), h. 196.
[17]Abu> al-H{ajj al-Mizzi>, Tuh}fath al-Asyra>f bi Ma‘rifah al-At}ra>f,  juz VIII (t.t.: Da>r al-Qayyimah, t.th.), h. 490
[18]Manna>‘al-Qat}t}a}n, Maba>h}is\ fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (Cet I; Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), h. 191.
[19]‘Ali> al-Muttaqi> ibn H{isa>m al-Di>n al-‘Indi> al-Burha>n al-Fauri>, Kanz al-‘Umma>l fi> Sunan al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l,  juz VII (t.t.: Muassasah  al-Risalah, t.th.), h. 469.
[20]Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Usu>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d (Cet. III; Riya>d: Maktabah al-Ma‘a>rif li al-Nasyri wa al-Tauzi>‘, 1417 H/ 1996 M), h. 161.
[21]Muh}ammad Nas}i>r al-Di>n al-Alba>ni>, Silsilah al-Ah}a>di>s\ al-S{ah}i>h}ah,  juz I (Riya>d}: Maktabah al-Ma‘a>rif, t.th.), h. 637.
[22]Abu> Da>wud, op.cit., juz I h. 338.
[23]Muh}ammad ibn Yazi>d Abu> ‘Abd Allah al-Qazwa>ni>, Sunan Ibnu Ma>jah, juz I (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 381. Selanjutnya disebut Ibnu Ma>jah.
[24]Ah}mad ibn H{ambal Abu> ‘Abd Allah al-Syaiba>ni>, Musnad al-Ima>m Ah}mad ibn H{ambal, juz IV (Cairo: Muassasah Qartiyah, t.th.), h. 253. Selanjutnya disebut Ah}mad ibn H{ambal.
[25]Ibid.
[26]Ah}mad ibn H{ambal, op. cit., juz IV h. 253
[27]Secara etimologi, kata I‘tiba>r merupakan masdar dari kata i‘tabara yang berarti peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang sejenis. Secara terminologi ilmu hadis, i’tiba>r berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan diketahui apakah ada periwayat lain atau tidak ada untuk bagian sanad hadis dimaksud. Lihat: M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 51-52.
[28]Al-Sya>hid adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih, sedangkan al-muta>bi’ adalah hadis yang diriwayatkan dua orang atau lebih setelah sahabat, meskipun pada tingkatan sahabat hanya satu orang saja. Lihat: ‘Abd al-H{|||a|||||q ibn saif al-Di>n ibn Sa‘dulla>h al-Dahlawi>, Muqaddimah fi> Us}u>l al-H{adi>s\ (Cet. II; Beirut: Da>r al-Basya>ir al-Isla>miyah, 1986), h. 56-57.
[29]Abu> Da>wud, op. cit., juz I h. 338. Ibnu Ma>jah, op. cit., juz I h. 381. Ah}mad ibn H{ambal, op. cit., juz IV h. 253
[30]Abu> Ish{a>q al-Syaira>zi>, T{abaqa>t al-Fuqaha>’ (Beirut: Da>r al-Ra>id al-‘Arabi>, 1970 M.), h. 91.
[31]Abu> al-‘Abba>s Ah{mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn Khalka>n, Wafaya>t al-A‘ya>n wa Anba>’ Abna>’ al-Zama>n, Juz. I (Beirut: Da>r S{a>dir, 1900 M.), h. 63.
[32]Jama>l al-Di>n Abu> al-H{ajja>j Yu>suf al-Mizzi>, Tahzi>b al-Kama>l fi> Asma>’ al-Rija>l, Juz XXVII (Cet. II; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1403 H/ 1983 M) h. 451. Selanjutnya disebut al-Mizzi.
[33]> al-‘Abba>s Ah{mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn Khalka>n, op.cit., Juz II, h. 386.
[34]Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar Syiha>b al-Di>n al-As\qala>ni>, Tahzi>b al-Tahzi>b, Juz II (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, t.th.) h. 41. Selanjutnya disebut al-As\qala>ni>.
[35]Al-Mizzi>, op.cit., Juz II, h. 368
[36]Al-As\qala>ni>, op.cit., Juz VII h. 346
[37]Ibid., Juz 10, h. 234.
[38]M. Syuhudi Ismail, op.cit., h. 113.
[39]M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Cet. II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), h. 204.
[40]Departemaen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Cet 8; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008), h. 418
[41]Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz. I (Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.), h. 252. Selanjutnya disebut al-Bukha>ri>.
[42]Ibnu Ah}mad ‘Alimi, Tokoh Dan Ulama Hadis (Sidoarjo: Mashun, 2008) h. 206.
[43]Abu> al-Fad}l Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n al-Suyu>t}i>, al-Tausyi>h} Syarh} al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h}, Juz. II (Cet. I; al-Riya>d}: Maktabah al-Rusyd, 1419 H./1998 M.), h. 29. 
[44]Al-Karma>ni, al-Bukha>ri> bi Syarh} al-Karma>ni>, Juz. II (cet. II; Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1401 H./1981 M.), h. 23. 
[45]Abu> H{a>tim Muh}ammad ibn H{ibba>n ibn Ah}mad al-Tami>mi>, al-S|iqa>t, Juz. VII (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1395 H./1975 M.), h. 221. Selanjutnya disebut Ibn H{ibba>n.
[46]Al-As\qala>ni>, op.cit., Juz VII h. 213
[47]Abu> Ish{a>q al-Syaira>zi>, op.cit., h. 167.
[48]Abu> H{a>tim Muh{ammad ibn H{ibba>n ibn Ah}mad al-Tami>mi>, Masya>hi>r ‘Ulama>’ al-Ams}a>r, Juz. I (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1959 M.), h. 161.
[49]Syams al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad ibn ‘Us\ma>n al-Z|ahabi>, Siyar A‘la>m al-Nubala>’, Juz. VII (Cet. IX; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1413 H./1993 M.), h. 211-212.
[50]Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, al-Ta>rikh al-Kabi>r, Juz. III (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 7. Selanjutnya disebut al-Bukha>ri>, al-Ta>rikh al-Kabi>r. 
[51]Abu> al-Wali>d Sulima>n ibn Khalaf al-Ba>ji>, al-Ta‘di>l wa al-Tajri>h{, Juz. II (Cet. I; al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’ li al-Nasyr wa al-Tauzi>‘, 1406 H./1986 M.), h. 531.
[52]Al-Bukha>ri>, al-Ta>rikh al-Kabi>r. Juz IV, h. 124.
[53]Abu> Muh{ammad ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> H}a>tim al-Ra>zi>, al-Jarh{ wa al-Ta‘di>l, Juz. III (Cet. I; Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1271 H./1952 M.), h. 193. Abu> al-H{usain Ah{mad ibn ‘Abdillah ibn S{a>lih{ al-‘Ijli>, Ma‘rifah al-S|iqa>t (Cet. I; al-Madi>nah al-Munawwarah, Maktabah al-Da>r, 1405 H./1985 M.), h. 305.   
[54]Ibnu Ah}mad ‘Alimi, op.cit., h. 59.
[55]Muh}ammad Nas}i>r al-Di>n al-Alba>ni>, op.cit., juz I, h. 637.


2 komentar: