Makalah Ulumul Hadits
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sudah
merupakan kesepakatan kaum muslimin bahwa al-Hadits merupakan sumber
syariat islam kedua setelah al-Qur-an. Oleh karena itu mempelajari
hadits-hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- merupakan
kewajiban sebagaimana mempelajari al-Qur-an.Demi menyempurnakan pengkajian kita
terhadap hadits-hadits Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan
memudahkan dalam menelaah sunnah yang diwariskan oleh beliau, serta mampu
memilah antara yang shahih dan yang dha’if dari hadits dan sunnah tersebut,
maka dibutuhkan wasilah khusus yang bisa merealisasikan hal
tersebut, wasilah tersebut adalah ‘Ulumul Hadits.
‘Ulumul Hadits
merupakan ilmu mulia, barang siapa yang mahir dalam disiplin ilmu ini, maka
sungguh telah mendapatkan kebaikan yang besar, karena ilmu ini merupakan kunci
pokok untuk mempelajari hadits-hadits Nabi, barangsiapa yang mempelajarinya
maka akan banyak berinterakasi dengan sunnah-sunnah Rasulullah, sehingga sangat
berpotensi untuk lebih mengenal sunnah beliau, bahkan tidak menutup kemungkinan
akan terbangun sebuah kemampuan yang luar biasa, yaitu keahlian dalam memilah hadits
shahih dan hadits dhaif. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas
mengenai urgensi kajian ulumul hadits.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah berikut:
1. Apa sajakah tujuan mempelajari ulumul hadits?
2. Apa manfaat mempelajari ulumul hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tujuan mempelajari ulumul hadits.
Ulumul hadist merupakan ilmu yang penting
dalam mempelajari ilmu hadist.Ilmu ini merupakan hal yang penting untuk menjadi
seorang ahli hadits yang mumpuni. Selain itu, pentingnya mempelajari
hadits disebabkan juga oleh beberapa hal berikut ini:
1. Hadits
berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an.
Alqur’an dan hadist sebagai sumber hukum
dalam islam tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Al qur’an
sebagai sumber hukum yang pertama dan utama hanya memuat dasar-dasar yang
bersifat umum bagi syari;at islam, tanpa perincian secara detail. Kecuali yang
sesuai dengan pokok-pokok yang bersifat umum itu, yang tidak pernah berubah
karena adanya perubahan zaman dan tidak pula berkembang karena keragaman
pengetahuan dan lingkungan. Karena keadaan al qur’an yang demikian itu, maka
hadist sebagai sumber hukum yang kedua setelah al qur’an , tampil sebagai
penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat al qur’an yang masih bersifat global,
menafsirkan yang masih mubham, menjelaskan yang masih mujmal, membatasi yang
mutlak (muqayyad), mengkhususkan yang umum (‘am), dan menjelaskan hukum-hukum
serta tujuan-tujuannya, demikian juga membawa hukum-hukum yang secara
eksplisit tidak dijelaskan oleh al qur’an. Hal ini sejalan dengan firman Allah
yang artinya: “ Dan Kami turunkan kepadamu Al qur’an , agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.” ( Q.S An Nahl : 44)
2. Banyaknya hukum yang belum tercantum dalam Al-qur’an.
ü Taqyid
(pembatasan) terhadap kemutlakkan Al-qura’an.
Kata
“tangan” dalam ayat “pencuri pria dan wanita hendaklah kamu potong tangan
mereka” adalah muthlaq. Yang disebut tangan adalah sejak dari jari-jari sampai
dengan pangkal tangan. Kemudian As sunnah membatasi potong tangan itu pada
pergelangan, bukan pada siku-siku atau pangkal lengan.
3. Potensi pemalsuan hadits sangat besar, sehingga perlu dijaga
keotentikannya.
Pada zaman kekhalifahan Ali bin abi
thalib munculahberbagai macam golongan. Setiap golongan dari mereka merasa
menjadi yang paling benar. Mereka selalu ingin berusaha untuk tetap
berpengaruh. Untuk meyakinkan semua itu mereka mencari dalil-dalil yang bisa
menguatkan kelompok mereka, bahkan sampai membuat hadist-hadist palsu.
4. Terdapat banyak hadits dla’if dan hadits palsu yang perlu
dihindari supaya tidak dijadikan sebagai sumber hukum Islam.
Ilmu ini akan membentengi kaum muslimin
dari rongrongan hadits-hadits lemah dan palsu yang banyak merebak di tengah
umat, dan menjaga syariat yang murni ini dari maraknya kesyirikan dan bid’ah
yang tumbuh dengan subur di tengah kaum muslimin disebabkan beredarnya hadits
lemah dan palsu diantara mereka, serta akan menanamkan urgensi berpegangteguh
dengan hadits-hadits Nabi yang shahih dalam membangun agama, baik dalam masalah
aqidah, ibadah, akhlaq, maupun mu’amalah.Kemudian Imam Syafi’i juga berkata,
“Demi umurku. Ilmu hadits ini termasuk tiang agama yang paling kokoh dan
keyakinan yang paling teguh. Tidak digemari selain oleh orang-orang jujur lagi
taqwa, dan tidak dibenci selain oleh orang-orang munafiq”.Al Hakim juga
menandaskan, “Andaikata tidak banyak orang yang menghafal sanad hadits, niscaya
menara Islam roboh dan niscaya para ahli bid’ah berkiprah membuat hadits palsu
(maudhu’) dan memutarbalikkan sanad”.
5. Adanya berbagai macam masalah mengenai hadist.
Dewasa ini mulai muncul masalah mengenai
hadist,hal ini datang dan timbul dari periwayat hadist yang bernama Abu
hurairah. Abu hurairah merupakan salah satu sahabat yang tergolong singkat
kebersamaannya dengan Rasulullah SAW namun hadist yang diriwayatkan tergolong
cukup banyak. Sehingga hal ini dimanfaatkan oleh orang non muslim yang
mempelajari is;am untuk melemahkan hadist.
B. Manfaat mempelajari ulumul hadist.
Mempelajari ilmu hadits paling tidak akan
mendapatkan tiga sasaran utama:
a. agar seseorang
memiliki dasar pengetahuan tentang suatu hadits yang bersandar kepada Nabi saw
dan yang tidak memiliki sandaran.
b. seseorang akan
mengetahui mana hadits dan mana yang bukan hadits.
c. seseorang akan
mendapatkan ilmu pengetahuan dari sisi hukum apakah suatu hadits dapat diterima
sebagai hujah (maqbul) ataukah tertolak (mardud) .
d. Ilmu ini akan memberikan bekal bagi para penuntut ilmu
syar’i untuk mengkaji hadits-hadits Rasulullah –shallallahu wa sallam-,
sebab semua cabang ilmu syar’i membutuhkan pengetahuan terkait disiplin ilmu
ini, seorang ahli tafsir, seorang faqih, dan seorang ahli aqidah membutuhkan
hadits-hadits shahih dalam beristidlal, dan kemampuan untuk memilah hadits
shahih dan dha’if terbangun dengan ilmu ini.
e. Membekali penuntut ilmu hadits -secara
khusus- kunci pengetahuan terkait dasar-dasar periwayatan, syarat-syarat
diterima dan ditolaknya hadits, mengenal para perawi terpercaya dan perawi yang
ditolak riwayatnya dan lain sebagainya.
f. Memberikan kemampuan untuk mengenal
metodologi para ulama dalam menyaring hadits-hadits Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam-, dan memisahkannya antara yang shahih dan yang
dha’if.
g. Mengetahui juhud (upaya) para ulama dalam menuntut ilmu ini
dan mengajarkannya dari generasi ke generasi, dan merenungi pengorbanan mereka
dalam menjaga kemurnian hadits-hadits Rasulullah, sehingga memompa semangat
kita dalam menuntut ilmu syar’i, mengajarkan dan mendakwahkannya kepada
generasi berikutnya.
h. Mengenal kota-kota yang menjadi markaz ilmu hadits, dan
negeri yang menjadi pusat rihlah dalam menuntut ilmu tersebut, seperti
kota Mekah, kota Madinah, kota Khurasan, kota Baghdad, kota Bashrah, kota Mesir
dan lain sebagainya.
i. Mengenal
para pakar hadits dari zaman ke zaman, sejak zaman sahabat sampai zaman ini,
dan berupaya menelaah sirah (profil) mereka untuk memetik faedah dari manhaj
(metodologi) mereka dalam menuntut ilmu, mengetahui adab mereka dalam
menuntutnya, serta menilik upaya mereka dalam mengejawantahkan ilmu
tersebut dalam amal nyata
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan.
Dari makalah
sederhana ini dapat penulis simpulkan bahwa, tujuan untuk mempelajari ulumul
hadist adalah hadist berfungsi untuk menjelaskan Al-Qura’an, banyaknya hukum
yang belum tercantum dalam Al-Qur’an, potensi tiap golongan dari mereka macam
hadits sangat besar sehingga perlu dijaga keotentikkannya, terdapat banyak
hadits dla’if dan hadist palsu yang perlu dihindari supaya tidak dijadikan
sebagai sumber hukum Islam, adanya berbagi macam masalah mengenai hadist.
Sedangkan
manfaat dari mempelajari ulumul hadist yaitu agar seseorang memiliki dasar
pengetahuan tentang suatu hadits yang bersandar kepada Nabi saw dan yang tidak
memiliki sandaran, seseorang
akan mengetahui mana hadits dan mana yang bukan hadits, seseorang akan
mendapatkan ilmu pengetahuan dari sisi hukum apakah suatu hadits dapat diterima
sebagai hujah (maqbul) ataukah tertolak (mardud), Ilmu ini akan
memberikan bekal bagi para penuntut ilmu syar’i untuk mengkaji
hadits-hadits Rasulullah –shallallahu wa sallam.
B. Saran dan Kritik
Saran dan kritik sangat penulis harapkan
demi perbaikan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat berguna bagi
penulis pada khususnya, dan pembaca sekalian pada umumnya. Amiin.
Cara Meneliti Hadits
BAB I
PENDAHULUAN
A.. Latar Belakang
Hadits Nabi adalah
sumber ajaran Islam kedua. Dilihat dari periwayatannya, hadits berbeda dengan
al-Qur’an. Untuk al-Qur’an, semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir,
sedangkan hadits, sebagian periwatannya berlangsung secara mutawatir dan
sebagian lagi berlangsung secara ahad. Hadits mengenal istilah shohih, hasan,
bahkan ada mardud dan dhoif dan lainya. Namun, dalam al-Qur’an tidak mengenal
hal semacam itu karena periwayatan al-Qur’an adalah mutawatir yang tidak
mungkin diragukan isinya.
Tetapi dalam hadits
kita harus cermat, siapa yang meriwayatkan, bagaimana isinya dan bagaimana
kualitasnya, karena kualitas hadits akan berpengaruh pada hukum Islam.
Penelitian ini bukan
bermaksud untuk meragukan keseluruhan hadits Nabi tetapi lebih kepada
kehati-hatian (al-ihtiyath) dalam pengambilan dasar hukum. Inilah bukti bahwa
kita benar-benar ingin mengikuti Nabi Muhammad dan menjalankan Islam
sepenuhnya. Hal semacam itulah yang menyebabkan pengkajian hadits tidak hanya
menyangkut kandungan dan aplikasinya saja, tetapi juga segi sanad, matan dan
periwayatannya. Di sinilah Ulama’ hadits sangat berhati-hati dalam melakukan
periwayatan. Sehingga segala sesuatu yang berkenaan dengan materi hadits
menjadi sangat besar manfaatnya bagi penelitian kualitas hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Sanad
dan Matan
Kata sanad menurut
bahasa berarti sandaran; yang dapat dipegangi atau dipercayai; kaki bukit atau
kaki gunung. Sedangkan menurut istilah adalah:
هو طريق المتن, اى سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن مصدره الاول
هو طريق المتن, اى سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن مصدره الاول
“Sanad adalah jalan
yang menyampaikan pada Matan, yaitu rangkaian para periwayat yang mengutip ma
tan dari sumber pertamanya.”
Adapun pengertian dari Matan menurut bahasa adalah punggung jalan; atau tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah:
هو الفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه
Adapun pengertian dari Matan menurut bahasa adalah punggung jalan; atau tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan menurut istilah adalah:
هو الفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه
“Matan adalah
ungkapan-ungkapan hadits yang menunjukkan maksud hadits tersebut”
Selain istilah sanad
dan matan seperti yang telah diuraikan di atas, perlu pula diketahui istilah
Rawi. Yang dimaksud Rawi adalah “ orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam
suatu kitab apa yang pernah didengar atau diterima dari seseorang (gurunya).
Perbuatan
menyampaikan hadits tersebut dinamakan me-rawi (riwayat) kan hadits. Sebagai
contoh dari sanad, matan dan rawi bisa dilihat pada contoh hadits berikut:
روى الامام البخارى قال: حدثنا محمد بن المثنى قال: حدثنا عبد
الوهاب الثقفى قال: حدثنا ايوب, عن أبى قلابة, عن أنس عن النبى ص.م. قال: ثلاث من كن
فيه وجد حلاوة الايمان: ان يكون الله ورسوله أحب اليه مما سواهما, وان يحب المرء
لايحبه الا الله, وان يكون ان يعود فى الكفر كما يكره ان يقذف فى النار
Dari hadits di atas,
kita temukan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan oleh beberapa orang rawi,
yakni:
1. Anas sebagai rawi
pertama
2. Abi Qalabah sebagai rawi kedua
3. Ayyub sebagai rawi ketiga
4. Abdul wahhab Al-Tsaqafi sebagai rawi keempat
5. Muhammad ibn Al-Mutsanna sebagai rawi kelima
6. Imam Bukhari sebagai rawi terakhir (pentakhrij)
2. Abi Qalabah sebagai rawi kedua
3. Ayyub sebagai rawi ketiga
4. Abdul wahhab Al-Tsaqafi sebagai rawi keempat
5. Muhammad ibn Al-Mutsanna sebagai rawi kelima
6. Imam Bukhari sebagai rawi terakhir (pentakhrij)
Adapun deretan
kata-kata mulai dari :حدثنا محمد بن المثنى sampai dengan kalimat عن النبى ص.م. قال
itulah yang dinamakan sanad
Untuk contoh hadits
di atas, matan haditsnya adalah rangkaian kalimat mulai dari ثلاث من كن فيه sampai ان يقذف فى النار.
Dalam penulisan ilmiah, seyogyanya, selain ditulis matan hadits dimaksud, juga
ditulis nama rawi terakhir (pentakhrij) dan rawi pertamanya (sanad terakhir).
Umpamanya untuk penulisan hadits di atas, setelah menulis matannya, kemudian
ditulis kalimat: رواه البخارى عن أنس.
2. Pengertian
Penelitian Sanad dan Matan
Penelitian sanad dan
matan lebih dikenal dengan istilah kritik sanad dan matan. Penelitian ini bukan
berarti tidak mempercayai semua hadits Nabi, akan tetapi hal seperti ini hanya
tertuju pada hadits ahad bukan hadits mutawatir. Selain itu juga merupakan
kehati-hatian kaum muslimin dalam menjaga hadits Nabi di samping berkeinginan
untuk mengikuti sunnah Nabi dengan sebenar-benarnya.
Fakta sejarah telah
menyatakan bahwa hadits Nabi hanya diriwayatkan dengan mengandalkan bahasa
lisan/hafalan dari para perawarinya selama kurun waktu yang panjang, hal ini
memungkinkan terjadi kesalahan, kealpaan dan bahkan penyimpangan. Berangkat
dari peristiwa ini ada sebagian kaum muslimin yang bersedia mencari,
mengumpulkan dan meneliti kualitas hadits, upaya tersebut dilakukan hanya untuk
menyakinkan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi.
Sehubungan dengan
hal itu, mereka akhirnya menyusun kriteria-kriteria tertentu, sebagai langkah
mereka mengadakan penelitian pada sanad. Bagian-bagian penting dari sanad yang
diteliti adalah nama perawi dan lambang-lambang periwayatan hadits, misalnya;
sami’tu, akhbarāni, ‘an dan annă. Menambahkan hal itu, menurut Bustamin, sanad
harus mempunyai ketersambungan, yaitu perawi harus berkualitas siqah (‘adil dan
dhabit); dan masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya pertemuan,
diantaranya; sami’tu, hadatsana, hadatsani, akhbarani, qala lana, dhakarani
Untuk meneliti sanad
diperlukan pengetahuan tentang kehidupan, pekerjaan dan karakter pelbagai
pribadi yang membentuk rangkaian yang bervariasi dalam mata rantai isnad yang
berbeda-beda. Matan hadits yang sudah shahih belum tentu sanadnya shahih.
Sebab, boleh jadi dalam sanad hadits tersebut terdapat masalah sanad, sepeti
sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatanya tidak siqat (‘adil dan
dhabit)..
3. Latar belakang
penelitian Sanad dan Matan
Sebenarnya metode
yang mirip dengan sanad sudah tampak sebelum Islam lahir, akan tetapi metode
tersebut masih tampak samar-samar. Sebagaimana dalam penukilan syair-syair
jahiliyah, metode sanad sudah digunakan. Namun formulasi metode sanad ini baru
tampak jelas dalam sistem periwayatan hadits saja. Pemakaian sanad dalam
literatur hadits telah digunakan oleh sahabat sejak Nabi masih hidup. Mereka
yang hadir dalam majelis pengajian Nabi memberitahukan sahabat lain yang tidak
hadir tentang hal yang mereka dengar.
Ulama’ sangat besar
perhatiannya terhadap sanad dan matan hadits. Hal ini terbukti dengan adanya
tiga alasan. Pertama, pernyataan-pernyataan ulama’ yang menyatakan bahwa sanad
merupakan bagian tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadits. Kedua,
banyaknya karya tulis ulama’ yang berkenaan dengan sanad hadits. Ketiga, dalam
praktek, apabila mereka menghadapi suatu hadits, maka sanad hadits merupakan
salah satu bagian yang mendapat perhatian khusus.
Pada dasarnya ada
empat faktor yang mendorong ulama’ hadits mengadakan penelitian hadits yaitu
dari segi sanad dan matan. Yaitu:
a)
Hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam
Dalam sejarah,
hampir seluruh ulama dan umat Islam menyepakati hadits sebagai sumber ajaran
Islam. Hanya ada sekelompok kecil pada masa klasik yang menolaknya, inilah yang
disebut Inkar al-sunnah. Hal itu dikarenakan mereka kurang paham tentang
pelbagai hal mengenai ilmu hadits. Namun, pada masanya juga Imam Syafi’i
memberikan bantahan lewat argumen-argumennya dalam kitab al-Umm. Karenanya,
Imam Syafi’i kemudian diberi julukan sebagai Nashir al-Sunnah (pembela Sunnah).
Semenjak abad
ketiga, yaitu setelah Imam Syafi’i memberikan argumen-argumennya, sampai abad
keempat belas hijriyah, tidak ada cacatan sejarah yang menunjukkan bahwa di
kalangan umat Islam terdapat pemikiran penolakan Sunnah. Namun, baru pada abad
keempat belas Hijriyah, pemikiran seperti itu muncul kembali, dan kali ini
dengan bentuk yang berbeda dari Inkar al-Sunnah klasik dan lebih berbahaya.
Inkar al-Sunnah Modern yang muncul di Cairo, Mesir itu disebabkan adanya
pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam,
tokoh-tokohnya mengaku sebagai mujtahid dan pembaharu, dan meskipun kepada
mereka telah diterangkan urgensi Sunnah dalam Islam, mereka tetap bertahan pada
pendiriannya.
Namun, kiranya Allah
berkehendak lain. Apabila Imam Syafi’i berhasil melumpuhkan Inkar al-Sunnah
klasik, maka munculnya para pakar Hadits kontemporer seperti Prof. Dr. Musthafa
al-Siba’i, Prof. Dr. M.M. A’zami dan lain-lain telah membikin argumentasi Inkar
al-Sunnah modern hancur berkeping-keping. Sehingga hadits dapat dilestarikan
sampai sekarang
b)
Hadits tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
Tidak ada
perselisihan bahwa Al-Qur’an telah mendapat perhatian khusus dari Rasul
sehingga membuatnya terpelihara dalam dada, tertera di lembaran-lembaran,
pelepah korma, dll. Tetapi Sunnah tidaklah demikian, meskipun merupakan salah
satu sumber ajaran Islam. Sunnah tidak mendapat perhatian khusus dalam masalah
kodifikasi. Mungkin penyebabnya adalah bahwa Rasul hidup bersama sahabat selama
dua puluh tiga tahun, sehingga penulisan hadits adalah sulit dilakukan dari
segi masalah lokasi. Selain itu juga dikhawatirkan silapnya sebagian sabda Nabi
yang singkat dan padat dengan Al-Qur’an karena alpa dan tanpa sengaja. Dengan
begitu, kita mengetahui rahasia dilarangnya menulis Sunnah yang terdapat dalam
hadits Muslim “Janganlah kamu menulis dariku selain Al-Qur’an, maka barang
siapa menulis sesuatu hendaklah ia menghapusnya.”
Meski begitu, sudah
dipastikan bahwa sebagian sahabat memiliki lembaran-lembaran tertulis yang di
dalamnya mencatat sebagian apa yang mereka dengar dari Nabi, meski hanya
dikenal dengan istilah shahifah dan nuskhah. Namun, ada sementara sahabat yang
sudah memberikan nama tertentu bagi karyanya, seperti Abdullah Amr ibn al-Ash
(7 SH-65 H). Beliau memberikan nama al-Shadiqah.
Para Ulama’
berselisih pendapat bagaimana menggabungkan hadits nabi yang melarang penulisan
hadits, sedangkan menurut sejarah tidak sedikit sahabat yang menulis dan
menyimpannya. Ada yang berpendapat bahwa larangan itu terhapus (mansukh). Ada
pula yang berpendapat bahwa larangan menulis hanya untuk mereka yang tidak aman
dari membuat kesalahan dan mencampuradukkan antara sunnah dan al-Qur’an.
Sedangkan Prof. Dr. Musthafa al-Siba’i, seorang tokoh hadits yang energik dari
Damaskus, Syiria, berpendapat bahwa larangan yang dimaksud adalah penulisan
secara resmi sebagaimana dicatatnya al-Qur’an. Sedangkan izin penulisan adalah
kelonggaran mencatat sunnah dalam keadaan dan keperluan khusus, atau
kelonggaran bagi sahabat yang menulis untuk dirinya sendiri.
c) Munculnya
pemalsuan Hadits
Pada zaman Nabi,
belum terdapat bukti yang kuat tentang telah terjadinya pemalsuan hadits.
Menurut bukti yang ada, pemalsuan hadits mulai ada pada masa Khalifah Ali ibn
Abi Thalib, walau begitu tidak menutup kemungkinan pemalsuan hadits sudah
berlangsung pada masa sebelumnya.
Berdasarkan sejarah,
pemalsuan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang Islam saja tetapi juga oleh
orang-orang non-Islam. Orang-orang non-Islam membuat hadits palsu karena ingin
menghancurkan Islam dari dalam. Sementara orang-orang Islam tertentu membuat
hadits palsu karena didorong beberapa tujuan. Seperti Kaum Syiah yang membuat
hadits palsu tentang kemuliaan sahabat Ali. Kaum pendukung Muawiyah pun tidak
mau kalah, mereka membuat hadits palsu untuk memuliakan pemimpinnya.
Dalam hal ini harus
dinyatakan bahwa apapun latar belakang dan tujuan pemalsuan hadits, hal seperti
itu tetaplah perbuatan tercela dan menyesatkan. Bahkan Nabi sendiri mengancam
neraka bagi pemalsu sabda atas nama Nabi
d) Proses
penghimpunan hadits
Pada zaman sahabat
Nabi dan Tabi’in, khususnya sebelum Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz memerintahkan
untuk menghimpun hadits, kegiatan penulisan hadits telah dilakukan banyak
orang. Akan tetapi hanya untuk kepentingan sendiri karena masih berlangsung
perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya penulisan hadits.
Keinginan Khalifah
Umar ibn Abdul Aziz (memerintah 99-101H) untuk menghimpun tersebut diwujudkan
dalam bentuk surat perintah yang dikirim ke seluruh pejabat dan Ulama’ di
pelbagai daerah pada Akhir tahun 100 H. sayang sekali sebelum selesai
penghimpunan, Khalifah telah meninggal dunia. Meski demikian, kegiatan tersebut
masih berjalan terus.
Sekitar pertengahan
abad kedua Hijriyah, telah muncul pelbagai kitab himpunan hadits yang tidak
hanya memuat matan saja tetapi juga sanad. Ada yang berkualitas shahih dan juga
ada yang berkualitas tidak shahih. Ulama’ berikutnya kemudian menyusun kitab
hadits yang khusus menghimpun hadits-hadits shahih.
Masih banyak kitab
hadits yang disusun oleh ulama’ pada abad ke III H. tidak sedikit juga ulama’
sesudah abad III H yang menyusun hadits yang kebanyakan berupa ringkasan.
Dengan demikian puncak penghimpunan hadits terjadi pada abad III H. Setelah
itu, penghimpunan hadits hanya untuk melengkapi, menggabungkan dan sebagainya.
4. Tujuan Penelitian
Hadits
Tujuan pokok
penelitian hadits baik dari segi sanad maupun matan adalah untuk mengetahui
kualitas hadits yang diteliti. Hadits yang kualitasnya tidak memenuhi syarat
tidak dapat digunakan sebagai hujjah.
Pernyataan ulama’
tentang tidak perlunya penelitian lebih lanjut pada hadits mutawatir tidaklah
berarti bahwa terhadap mutawatir tidak dilakukan penelitian. Penelitian hadits
mutawatir tetap saja dilakukan, hanya saja tujuan penelitian bukanlah untuk
mengetahui kualitas sanad dan matan, melainkan untuk mengetahui apakah benar
hadits tersebut berstatus mutawatir.
Penelitian ulang
terhadap hadits yang telah pernah dinilai oleh Ulama’ tetap memiliki manfaat
mengingat ulama’ dahulu pun manusia yang kadang salah dan benar. Penelitian
merupakan salah satu upaya untuk selain mengetahui seberapa jauh tingkat
akurasi penelitian dahulu, juga untuk menghindar dari penggunaan dalil hadits
yang tidak memenuhi syarat dari segi kehujjahan.
5. Kaidah-kaidah
penelitian Hadits
Dalam kegiatan
penelitian hadits ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh seorang
peneliti hadits, yaitu sebagai berikut:
a) Takhrijul Hadits
Langkah awal yang
dilakukan para ahli Hadits dalam kegiatan penelitian hadits adalah Takhrijul
hadits. Banyak sekali istilah yang dipakai ulama’ hadits tentang pengertian
Takhrijul hadits. Namun, pengertian yang dimaksud dalam kegiatan penelitian
hadits lebih lanjut ialah “penelusuran atau penelitian hadits pada pelbagai
kitab sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber
itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad yang bersangkutan”.
Tanpa dilakukan
kegiatan takhrijul hadits terlebih dahulu maka akan sulit diketahui asal-usul
riwayat hadits yang akan diteliti. Hal inilah yang menjadikannya sangat penting
bagi seorang peneliti hadits. Pada dasarnya ada tiga hal yang menyebabkan
pentingnya kegiatan Takhrijul hadits. Yaitu:
- Untuk mengetahui
asal-usul riwayat hadits, sehingga mudah diketahui status dan kualitasnya.
- Untuk mengetahui
seluruh riwayat bagi hadits, sehingga dapat ditentukan sanad yang berkualitas
dlaif dan yang berkualitas shahih.
- Untuk mengetahui
ada atau tidak adanya Syahid dan Mutabi’ pada sanad hadits, Syahid adalah
periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai dan untuk sahabat
Nabi. Sedangkan Mutabi’ adalah periwayat yang berstatus pendukung pada
periwayat yang bukan sahabat Nabi.
Dalam buku Cara
Praktis Mencari Hadits dikemukakan bahwa metode takhrijul hadits ada dua macam,
yaitu:
- ØMetode Takhrijul Hadits bil Lafz
Metode ini adalah
penelusuran hadits melalui lafadz. Kitab kamus yang agak lengkap untuk
kepentingan ini adalah adalah kitab susunan Dr.A.J. Wensinck dkk. Yang
diterjemahkan ke bahasa arab dengan judul المعجم المفهرس
لالفاظ الحديث النبوي
- ØMetode Takhrijul Hadits bil maudlu’
Metode ini adalah
penelusuran hadits melalui topik masalah. Kitab kamus untuk kepentingan ini
adalah مفتاح كنوز السنة yang juga susunan dari Dr.A.J. Wensinck dkk.
b) Penelitian Sanad
Hadits
Setelah melakukan
takhrijul hadits, maka seluruh sanad hadits dicatat dan dihimpun untuk
dilakukan penelitian dengan urutan sebagai berikut:
1. Al-i’tibar
Al-I’tibar yaitu
menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits tertentu, yang hadits itu
pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan
menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada
periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian dari sanad hadits di maksud.
Tujuan diadakannya Al-I’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits
seluruhnya dilihat dari ada atau tidaknya periwayatan yang berstatus mutabi’
(periwayatan yang berstatus pendukung yang bukan sahabat Nabi), dan syahid
(periwayatan yang berstatus sebagai dan untuk Nabi).
Untuk mempermudah
proses al-i’tibar, diperlukan pembuatan skema seluruh sanad hadits yang
diteliti. Garis-garis sanad harus jelas, seperti halnya nama periwayat agar
tidak mengalami kesulitan dalam penelitian. Sebagai contoh hadits yang berbunyi
من رأى منكم منكرا. Berikut ini dikemukakan riwayat hadits tersebut yang
mukharrijnya Muslim:
حدثنا أبو بكر بن أبى شيبة, حدثنا وكيع عن سفيان.ح. و حدثنا محمد
المثنى. حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة, كلاهما عن قيس بن مسلم عن طارق بن شهاب
وهذا حديث أبى بكر. قال: أول من بدأ بالخطبة يوم العيد قبل الصلاة مروان. فقام
اليه رجل. فقال: الصلاة قبل الخطبة. فقال: قد ترك ما هنالك. فقال أبو سعيد: أما هذا فقد قضى ما عليه. سمعت رسول الله ص.م. يقول: من
رأى منكم منكرا فليغير بيده فان لم يستطع فبلسانه, فان لم يستطع فبقلبه, وذالك أضعف
الايمان. (أخرجه مسلم)
Marwan bin Hakam dalam riwayat di atas bukanlah periwayat hadits. Dia disebut namanya karena adanya kasus yang dia lakukan yaitu mendahulukan khutbah dalam shalat hari raya dengan alasan tahun sebelumnya bila shalat jamaah selesai dan diikuti khutbah, ternyata banyak anggota jamaah yang meninggalkan tempat shalat. Tindakan Marwan ditegur oleh salah seorang yang hadir. Di tempat itu hadir pula Abu Said al-Khudri yang membenarkan sikap orang yang menegur. Abu Said menilai tindakan Marwan itu merupakan perbuatan munkar. Karenanya, ia menyampaikan hadits Nabi di atas yang berisi perintah untuk mengatasi kemungkaran. Dengan demikian, kasus Marwan bukanlah sabab al-wurud dari sabda Nabi tersebut karena kasus itu tidak termasuk matan
Marwan bin Hakam dalam riwayat di atas bukanlah periwayat hadits. Dia disebut namanya karena adanya kasus yang dia lakukan yaitu mendahulukan khutbah dalam shalat hari raya dengan alasan tahun sebelumnya bila shalat jamaah selesai dan diikuti khutbah, ternyata banyak anggota jamaah yang meninggalkan tempat shalat. Tindakan Marwan ditegur oleh salah seorang yang hadir. Di tempat itu hadir pula Abu Said al-Khudri yang membenarkan sikap orang yang menegur. Abu Said menilai tindakan Marwan itu merupakan perbuatan munkar. Karenanya, ia menyampaikan hadits Nabi di atas yang berisi perintah untuk mengatasi kemungkaran. Dengan demikian, kasus Marwan bukanlah sabab al-wurud dari sabda Nabi tersebut karena kasus itu tidak termasuk matan
Dalam mengemukakan
riwayat, Imam Muslim menyandarkan riwayatnya kepada dua periwayat, yakni Abu
Bakar bin Abi Syaibah dan Muhammad bin al-Mutsanna. Keduanya beliau sandari
sebagai sanad pertama. Dengan demikian, sanad terakhir adalah Abu Said
al-Khudri.
Huruf ح yang
terletak antara nama Sufyan dan kata wa haddasana adalah singkatan dari kata
at-tahwil min isnad ila isnad, artinya: perpindahan dari sanad yang satu ke
sanad yang lain. Dengan demikian sanad Muslim dalam riwayat hadits di atas ada
dua macam.
2. Meneliti pribadi
periwayat dan metode periwayatannya
Dalam meneliti
pribadi periwayat, Ulama’ hadits sepakat bahwa ada dua hal yang harus diteliti
untuk dapat diketahui riwayat hadits bisa dijadikan hujjah atau tidak. Yaitu
keadilan dan kedhabitannya. Jika kedua sifat itu telah dimiliki maka periwayat
dinyatakan bersifat Siqah.
a.
adil (kualitas pribadi periwayat)
Dalam memberikan
pengertian istilah adil, ulama’ berbeda pendapat. Dari perbedaan itu dapat
dihimpun empat butir kriteria untuk seorang yang adil. Yaitu: (1) beragama Islam;
(2) mukallaf; (3) melaksanakan ketentuan agama; (4) memelihara muru’ah.
Pada kriteria
melaksanakan ketentuan agama, Allah memerintahkan dalam Surat al-Hujurat: 6
agar berita yang berasal dari orang fasiq diteliti kebenarannya. Maka berita
dari orang yang fasiq yang berkenaan dengan sumber ajaran Islam, dalam hal ini
hadits Nabi, harus ditolak. Karena orang yang tidak melaksanakan ketentuan
agama tidak merasa berat membuat berita bohong.
Pada kriteria
keempat, Ibnu Qudamah mengartikan muru’ah dengan rasa malu yang merupakan salah
satu tata nilai yang berlaku di masyarakat, berarti orang yang mengabaikan
muru’ah akan mengakibatkan dia tidak dihargai oleh masyarakat. Sehingga
cenderung melakukan perbuatan kompensasi untuk mencari perhatian masyarakat salah
satunya adalah menyampaikan berita bohong.
b. dhabith
(kapasitas intelektual)
Penerimaan hadits
pada masa Nabi ialah melalui cara al-sama’. Sedangkan orang yang menyampaikan
hadits harus hafal terlebih dahulu dan mampu menyampaikannya kepada orang lain di
samping harus memahami isi hadits tersebut. Dengan demikian, kapasitas
intelektual seorang periwayat sangat ditekankan dalam periwayatan hadits.
Dalam metode
periwayatan, ada beragam cara yang dipakai, diantaranya:
a. سمعت d. أخبرنا
b. حدثنا e. قال لن
c. حدثنى f. ذكرنا
Bobot kualitas
kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama’. Menurut al-Khatib al-Baghdadiy (w.
463 H), kata yang tertinggi adalah سمعت kemudian
حدثنا
dan حدثنى
. Alasannya kata سمعت menunjukkan kepastian periwayat mendengar langsung hadits.
Sedangkan حدثنا dan حدثنى masih bersifat umum; ada kemungkinan periwayat tidak mendengar
langsung.
Adapun kata حدثنى lebih
tinggi daripada kata حدثنا dan أخبرنا. Karena حدثنى mengandung unsur kesengajaan guru menyampaikan hadits kepada
penerima riwayat. Sedang dua kata lainnya tidak demikian.
Kegiatan penelitian hadits masih belum dinyatakan selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syudzudz dan illah belum dilaksanakan dengan cermat.
Kegiatan penelitian hadits masih belum dinyatakan selesai bila penelitian tentang kemungkinan adanya syudzudz dan illah belum dilaksanakan dengan cermat.
1.
meneliti syudzudz
Menurut Imam
Syafi’i, suatu sanad sangat memungkinkan mengandung syudzudz bila sanad yang
diteliti lebih dari satu buah. Hadits yang memiliki satu sanad saja, tidak
dikenal adanya syudzudz. Salah satu langkahnya adalah membandingkan (Muqaranah)
semua sanad yang ada untuk matan yang topik pembahasannya sama atau memiliki
segi kesamaan.
2.
meneliti illah
Illah yang
disebutkan dalam salah satu unsur kaedah kesahihan sanad hadits ialah illah
yang yang untuk mengetahuinya diperlukan penelitian yang lebih cermat sebab
hadits yang bersangkutan tampak sanadnya berkualitas shahih. Cara menelitinya
antara lain dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang
semakna.
Al-Khatib
al-Baghdadiy memberikan langkah-langkah yang perlu ditempuh ialah: (1) seluruh
sanad yang semakna dihimpun dan diteliti, bila hadits yang bersangkutan memang
memiliki mutabi’ataupun syahid; (2) seluruh periwayat dalam pelbagai sanad
diteliti berdasarkan kritik yang berlaku. Sesudah itu, kemudian sanad
dibandingkan dengan sanad lain. Maka akan ditemukan, apakah sanad hadits
tersebut mengandung illah ataukah tidak.
3.
Menyimpulkan hasil penelitian sanad
Isi dari hadits
harus berisi natijah (konklusi), kemudian dalam natijah harus disertai argumen
yang jelas. Semua argumen dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah rumusan
natijah dikemukakan.
Isi natijah untuk hadits yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berstatus mutawatir dan bila tidak demikian, maka hadits tersebut berstatus ahad. Untuk hasil penelitian hadits ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berkualitas shahih, atau hasan, atau dha’if.
Isi natijah untuk hadits yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berstatus mutawatir dan bila tidak demikian, maka hadits tersebut berstatus ahad. Untuk hasil penelitian hadits ahad, maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan berkualitas shahih, atau hasan, atau dha’if.
c) Penelitian Matan
Hadits
Kemudian untuk
meneliti matan hadits juga harus melalui beberapa kegiatan diantaranya:
1. Meneliti matan
dengan melihat kualitas sanadnya
Sebelum meneliti
matan terlebih dahulu harus meneliti sanad. Ini tidak berarti bahwa sanad lebih
penting daripada matan. Bagi ulama’ hadits keduanya sama-sama penting, hanya
saja penelitian matan mempunyai arti apabila sanad hadits sudah jelas memenuhi
syarat. Di samping itu setiap matan harus memiliki sanad, karena tanpa sanad,
maka suatu matan tidak dapat dinyatakan sebagai sabda Nabi.
Menurut ulama’
hadits, suatu hadits barulah dinyatakan berkualitas sahih apabila sanad dan
matan hadits sama-sama shahih. Dengan demikian, hadits yang sanadnya sahih dan
matannya tidak shahih atau sebaliknya, tidak dinyatakan sebagai hadits shahih.
2. Meneliti lafadz
matan yang semakna
Salah satu sebab
terjadinya perbedaan lafadz pada matan hadits yang semakna ialah karena dalam
periwayat hadits telah terjadi periwayatan secara makna (ar-riwayah bil-ma’na).
Menurut ulama’ hadits, perbedaan lafadz yang tidak mengakibatkan perbedaan
makna, asalkan sanadnya sama-sama shahih, maka hal itu tetap dapat ditoleransi.
Misalnya, hadits tentang niat yang berbeda-beda redaksi matannya.
3. Meneliti
kandungan matan
Kandungan dalam
beberapa matan terkadang sejalan dan juga ada yang bertentangan. Pada matan
yang sejalan, maka matan itu perlu diteliti sanad-nya. Jika memenuhi syarat,
maka kegiatan muqaranah kandungan matan dilakukan. Apabila kandungan matan yang
diperbandingan ternyata sama, maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian
matan berakhir.
Apabila kandungan
matan ternyata bertentangan dengan matan yang kuat, maka penelitian harus
dilanjutkan. Ulama’ berbeda pendapat dalam penyelesaiannya. Namun, dilihat dari
kemungkinan masalah yang diselesaikan, empat tahap yang diusung Ibnu Hajar
al-Asqalani dan lain-lain tampaknya dipandang lebih akomodatif. Yaitu, (1)
at-taufiq (al-jam’u atau al-talfiq); (2) an-nasikh wal-mansukh; (3) at-tarjih;
dan (4) at-tauqif (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat
menyelesaikannya atau menjernihkannya).
4. Menyimpulkan
hasil penelitian matan
Setelah semua
langkah telah dilakukan, maka langkah terakhir adalah menyimpulkan hasil
penelitian matan.Apabila dalam penelitian matan ternyata shahih dan sanadnya
juga shahih, maka natijah disebutkan bahwa hadits tersebut adalah shahih.
Apabila matan dan sanadnya berkualitas dhaif, maka natijah disebutkan bahwa
hadits tersebut adalah dhaif Sedangkan kalau seandainya matan dan sanadnya
berbeda kualitasnya, maka perbedaan itu harus dijelaskan.
6. Ilmu-Ilmu bantu
penelitian Hadits
Dalam penelitian
sebuah hadits tidak hanya didasarkan pada argumen saja, tetapi ada beberapa
ilmu yang dapat membantu dalam mencapai kesuksesan hadits. Ilmu yang berkenaan
dengan sanad adalah sebagai berikut:
a.
Ilmu Rijalul Hadits
Yaitu ilmu yang
secara mengelupas tentang tokoh/orang yang membawa hadits, semenjak dari Nabi
sampai dengan periwayat terakhir (penulis hadits). Pembahasan yang terpenting
adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut meliputi masa kelahiran dan wafat
mereka, negeri asal, negeri mana saja yang mereka singgahi dalam jangka waktu
lama, kepada siapa saja mereka menerima hadits, dan kepada siapa
menyampaikannya.
Ada beberapa istilah dalam penyebutan ilmu ini. Ada yang menyebutnya ilmu tarikh, ada yang menyebut tarikh ar-ruwat dan ada pula yang menyebut ilmu tarikh ar-ruwat.
Ada beberapa istilah dalam penyebutan ilmu ini. Ada yang menyebutnya ilmu tarikh, ada yang menyebut tarikh ar-ruwat dan ada pula yang menyebut ilmu tarikh ar-ruwat.
b. Ilmu al-Jarh wa
at-Ta’dil
Yaitu ilmu yang
membahas keadaan para rawi dari diterima atau ditolaknya periwayatan mereka.
Kritik yang dikemukakan oleh ulama’ hadits bukan hanya hal-hal yang terpuji
saja, tetapi juga berkenaan dengan hal-hal yang tercela. Hal semacam ini bukan
untuk menjelekkan mereka, melainkan untuk dijadikan pertimbangan dalam
hubungannya dengan dapat diterima atau tidak hadits yang mereka sampaikan.
Sedang ilmu yang berkenaan dengan matan adalah sebagai berikut:
Sedang ilmu yang berkenaan dengan matan adalah sebagai berikut:
a.
Ilmu Gharibul Hadits
Dalam memahami makna
matan hadits, terkadang kita menjumpai susunan kalimat yang sulit dipaham. Hal
ini bukan disebabkan tidak teraturnya kalimat dan tidak fasihnya. Akan tetapi
lebih merupakan keindahan seni sastra.Terdorong alasan tersebut di atas, para
ulama’ hadits menyusun suatu ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu gharibul
hadits.
Ibnu Shalah menta’rif ilmu gharibul Hadits sebagi berikut: “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan hadits yang sulit lagi sukar dipaham, karena jarang sekali digunakan”. Seperti lafadz الجار أحق بسبقه yang diartikan “Tetangga itu lebih berhak untuk didekati”, dengan lafadz Sabqu diartikan al-laziq (dekat).
Ibnu Shalah menta’rif ilmu gharibul Hadits sebagi berikut: “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafadz-lafadz dalam matan hadits yang sulit lagi sukar dipaham, karena jarang sekali digunakan”. Seperti lafadz الجار أحق بسبقه yang diartikan “Tetangga itu lebih berhak untuk didekati”, dengan lafadz Sabqu diartikan al-laziq (dekat).
b.
Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Yang disebut ilmu Mukhtalif
al-Hadits adalah “ilmu yang membahas hadits-hadits yang menurut lahirnya saling
bertentangan, untuk menghilangkan perlawanannya itu atau mengkompromikan
keduanya, sebagaimana membahas hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya,
untuk mengahilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikatnya”. Usaha untuk
mengumpulkan dua hadits yang berlawanan maknanya itu disebut talfiq al-Hadits.
Jika dua hadits itu dapat ditalfiqkan maknanya, maka tidak dibenarkan hanya
diamalkan salah satu, sedang yang lain ditinggalkan. Cara mentalfiqkan ada
kalanya dengan mentakhshishkan hadits yang umum, mentaqyidkan hadits yang
mutlaq dan adakalanya memilih sanadnya yang lebih kuat.
c.
Ilmu Nasikh Hadits wa al-Mansukh
Dalam penelitian
matan, seorang peneliti akan menemukan hadits-hadits yang bertentangan. Solusi
yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan membahasnya melalui ilmu Nasikh
Hadits wa al-Mansukh. Pengertian dari ilmu ini adalah “ilmu yang membahas
hadits-hadits yang saling berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat
dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai
nasikh terhadap hukum yang lain, karena ia sebagai mansukh. Karenanya, hadits
yang terakhir adalah sebagai nasikh”. Jalan untuk mengetahui nasakh adalah, (1)
penjelasan dari nash syar’i, (2) penjelasan dari shahabat, (3) dengan
mengetahui tarikh keluarnya hadits.
d.
Ilmu Asbab al-Wurud
Mengetahui
sebab-sebab lahirnya hadits adalah bagian sangat penting dalam mempelajari
hadits. Karena hal ini dapat memahami makna hadits secara sempurna.
Yang dimaksud ilmu asbab al-wurud ialah “ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadits.”
Dalam mempelajari ilmu ini kita dapat mengambil beberapa faedah. Antara lain: (1) memahami dan menafsirkan hadits, (2) mengambil kandungan isi dari nash yang dilukiskan secara umum, (3) mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat, (4) mentakhsis hukum.
Yang dimaksud ilmu asbab al-wurud ialah “ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadits.”
Dalam mempelajari ilmu ini kita dapat mengambil beberapa faedah. Antara lain: (1) memahami dan menafsirkan hadits, (2) mengambil kandungan isi dari nash yang dilukiskan secara umum, (3) mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat, (4) mentakhsis hukum.
e.
Ilmu Ilal al-Hadits
Dalam studi hadits
istilah illat dapat diartikan sebagai suatu sebab yang tersembunyi yang dapat
membuat cacat suatu hadits yang nampaknya tiada bercacat. Demikian menurut
Muhadditsun.
Dengan mengetahui arti illat, maka dapatlah ditetapkan ta’rif ilmu illal al-Hadits sebagai berikut:
Dengan mengetahui arti illat, maka dapatlah ditetapkan ta’rif ilmu illal al-Hadits sebagai berikut:
“Ilmu yang membahas
tentang sebab-sebab yang samar-samar lagi tersembunyi dari segi membuat
kecacatan suatu hadits. Seperti memutthasilkan (menganggap bersambung) sanad
atau hadits yang sebenarnya sanad itu munqathi’ (terputus), merafa’kan
(mengangkat sampai pada Nabi) berita yang mauquf (yang berakhir pada shahabat),
menyisipkan suatu hadits pada hadits yang lain, meruwetkan sanad dengan
matannya atau lain sebagainya.”
Dengan demikian, dapat diketahui betapa sulitnya meneliti apakah sanad suatu hadits itu muttashil, berita yang disampaikan oleh sahabat itu benar-benar dari Nabi, jika saja seseorang tidak mempunyai pengetahuan yang banyak tentang biografi para perawi. Apabila dalam suatu hadits ditemukan illat, menjadilah hadits tersebut hadits dlaif. Hal demikian menyebabkan tidak dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum.
Dengan demikian, dapat diketahui betapa sulitnya meneliti apakah sanad suatu hadits itu muttashil, berita yang disampaikan oleh sahabat itu benar-benar dari Nabi, jika saja seseorang tidak mempunyai pengetahuan yang banyak tentang biografi para perawi. Apabila dalam suatu hadits ditemukan illat, menjadilah hadits tersebut hadits dlaif. Hal demikian menyebabkan tidak dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kritik hadits (Naqd
al-Hadits) atau dengan sebutan penelitian hadits adalah upaya untuk menseleksi
kehadiran hadits, memberikan penilaian dan membuktikan keautentikan
(keshahihan) sebuah hadits. Upaya ini juga berarti mendudukan hadits sebagai
hal yang sangat penting dalam sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran,
sebagai bukti kehati-hatian kita. Selain yang telah tersebut di atas, upaya ini
juga dilakukan untuk memahami hadits agar dapat mengaplikasikan isi dari hadits
tesebut dengan tepat. Jadi, kita akan lebih yakin akan kebenaran hadits karena
adanya proses penelitian yang ketat dari para sahabat dan para ulama’ hadits
dan metode pemahaman yang benar.
Upaya ini mempunyai metode tersendiri dan juga ilmu-ilmu yang dapat membantu dalam proses penelitiannya. Ilmu yang berkenaan dengan sanad antara lain Ilmu Rijalul Hadits dan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, sedang untuk meneliti matan dibutuhkan Ilmu Gharibul Hadits, Ilmu Mukhtalif al-Hadits, Ilmu Nasikh Hadits wa al-Mansukh, Ilmu Asbab al-Wurud, Ilmu Ilal al-Hadits.
Dengan adanya ilmu-ilmu tersebut kegiatan penelitian akan lebih mudah dan terbantu. Sehingga pada akhirnya kita akan mendapat hasil yang memuaskan yaitu hadits yang berkualitas shahih
Upaya ini mempunyai metode tersendiri dan juga ilmu-ilmu yang dapat membantu dalam proses penelitiannya. Ilmu yang berkenaan dengan sanad antara lain Ilmu Rijalul Hadits dan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, sedang untuk meneliti matan dibutuhkan Ilmu Gharibul Hadits, Ilmu Mukhtalif al-Hadits, Ilmu Nasikh Hadits wa al-Mansukh, Ilmu Asbab al-Wurud, Ilmu Ilal al-Hadits.
Dengan adanya ilmu-ilmu tersebut kegiatan penelitian akan lebih mudah dan terbantu. Sehingga pada akhirnya kita akan mendapat hasil yang memuaskan yaitu hadits yang berkualitas shahih
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Muhammad
Ajjaj, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Daar al-Fikr, 1989.
Al-Siba’i, Musthafa,
Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Terj. Nurcholish Majid dari
“al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami” Jakarta: Pustaka Firdaus,
1992.
Bustamin, Metodologi
Kritik Hadits, Jakarta: Raja Grafindo, 2004.
Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci: Kritik atas Hadits-Hadits Sahih, Cet. I, Yogyakarta: Pilar Media, 2001.
Fudhaili, Ahmad, Perempuan di Lembaran Suci: Kritik atas Hadits-Hadits Sahih, Cet. I, Yogyakarta: Pilar Media, 2001.
Ismail, M. Syuhudi,
Kaidah Kesahihan Sanad Hadits, Jakarta: PT Karya Unipress, 1995.
Metodologi
Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: PT Karya Unipress, 1992.
Pengantar Ilmu
Hadits, Bandung: Angkasa, 1991.
Rahman, Fatchur,
Ikhtishar Musthalah Hadits, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1995, Cet: VIII.
Yaqub, Ali Mustafa,
Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.
Zuhri, Muh., Hadis
Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003.
TAKHRIJ HADIS TENTANG DUA SUJUD SAHWI
TAKHRIJ HADIS TENTANG DUA
SUJUD SAHWI
Oleh:
ASRIWAN
NIM:
30300111009
Dosen
Pembimbing:
Abdul
Gaffar, S.Th.I, M.Th.I
JURUSAN TAFSIR HADIS KHUSUS
FAKULTAS USHULUDDIN & FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN AKADEMIK 2011/2012
A. Pembahasan
Takhrij Hadis Tentang Dua Sujud Sahwi
Hadis yang
menjadi pembahasan kali ini adalah hadis-hadis Nabi saw. tentang dua sujud
sahwi. Adapun lafal hadis yang peneliti dapatkan yaitu (سجدتي السهو).
Adapun
metode takhrij hadis[1]
yang peneliti pergunakan ada lima macam metode yang akan dijelaskan berikut
ini.
1. Metode Takhrij Melalui Salah Satu
Lafal Matan Hadis
Metode
takhrij yang digunakan untuk mencari lafal hadis tersebut adalah dengan metode
salah satu lafal matan hadis. Kitab yang digunakan adalah Mu’jam al-Mufahras
li Alfa>z} al-H{adi>s al-Nabawi> karangan A.J. Wensinck dengan
judul asli Concordance at Indices de la Tradition Musulmane yang
diterjemahkan oleh Muh}ammad Fu’a>d ’Abd al-Ba>qi>.[2]
Cara mencari salah satu lafal matan hadis dengan metode ini adalah dengan
mengembalikan kata dasar dari lafal yang ingin dicari. Selanjutnya mencari
sesuai dengan urutan abjad huruf hijaiyyah.
Setelah melakukan penelusuran dengan metode ini, hasil
yang didapatkan peneliti adalah sebagai berikut:
1.
سجدتي
·
فى سجدتي السهو تشهد : خ سهو 4[3]
·
سمى سجدتي السهو المرغمتين : د صلاة 191[4]
·
فلا يجلس سجدتي السهو : جه اقامة 131[5]
·
لم يسجد سجدتي السهوحتى يقنه الله ذاك : د صلاة 189[6]
·
سجد سجدتي السهو : م مساجد 93, 95, 102 – خ بدء الخلق 11
– د صلاة 189, 190, 195- ن سهو26- جه اقامة 70, 131, 134, 136- حم1: 379, 409,
419, 420, 456, 2: 532, 4: 253, 254[7]
2.
السهو
·
فى سجدتي السهو تشهد : خ سهو 4- د صلاة 196[8]
·
سمى سجدتي السهو المرغمتين : د صلاة 191[9]
·
فلا يجلس سجدتي السهو : جه اقامة 131[10]
·
كانا يسجدان سجدتي السهوقبل السلام : ت صلاة 171[11]
·
سجد ,فسجد, [ولم] يسجد, ليسجد, ويسجد سجدتي السهو : خ
بدء الخلق 11 - م مساجد 93, 95, 102 – د صلاة 189, 195- ت صلاة 152, 172- ن سهو25,
26, 75, 76 - جه اقامة , 131, 134, 136- دى صلاة 176- ط نداء 62- حم 1: 376, 379, 409, 420, 456, 2: 532, 3: 84,
4: 77, 253, 254[12]
Maksud dari keterangan di atas yaitu:
1.
Lafal سجدتي dalam bab (huruf) س ditemukan sebanyak lima kali dalam bentuk
potongan matan hadis, yaitu:
·
فى
سجدتي السهو تشهد terdapat
dalam S}ahi>h al-Bukha>ri>, kitab Sahwun, no. urut bab 4
·
سمى
سجدتي السهو المرغمتين terdapat
dalam Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab 191
·
فلا
يجلس سجدتي السهو terdapat
dalam Sunan Ibnu Ma>jah, kitab Iqa>mah, no. urut bab 131
·
لم
يسجد سجدتي السهوحتى يقنه الله ذاك terdapat
dalam Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab 189
· سجد سجدتي السهو terdapat
dalam:
Ø S{ahi>h Muslim, kitab Masa>jid,
no. urut hadis 93, 95, dan 102
Ø S{ahi>h al-Bukha>ri>,
kitab Bad al-Khalq, no.urut bab 11
Ø Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab
189, 190, dan 195
Ø Sunan al-Nasa>’i, kitab Sahwun,
no.urut bab 26
Ø Sunan Ibnu Ma>jah, kitab Iqa>mah,
no.urut bab 70, 131, 134, 136
Ø Musnad Ah}mad, juz 1: halaman 379, 409,
419, 420, 456. Juz 2: halaman 532. Juz 4: halaman 253, 254
2. Lafal السهو
dalam bab (huruf) س
ditemukan sebanyak lima kali dalam
bentuk potongan matan hadis, yaitu:
· فى سجدتي السهو تشهد
terdapat dalam S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, kitab Sahwun, no.
urut bab 4 dan dalam Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab
196
· سمى سجدتي السهو المرغمتين
terdapat dalam Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab 191
· فلا يجلس سجدتي السهو
terdapat dalam Sunan Ibnu Ma>jah, kitab Iqa>mah, no. urut
bab 131
· كانا يسجدان سجدتي السهوقبل السلام
terdapat dalam Sunan al-Tirmiz\i>, kitab salat, no. urut bab 171
· سجد ,فسجد,وسجد, [ولم]
يسجد, ليسجد, ويسجد سجدتي السهو terdapat
dalam:
Ø S{ah}i>h} al-Bukha>ri>,
kitab Bad al-Khalq, no.urut bab 11
Ø S{ah}i>h} Muslim, kitab Masa>jid,
no. urut hadis 93, 95, dan 102
Ø Sunan Abu> Da>wud, kitab Salat, no. urut bab
189, dan 195
Ø Sunan al-Tirmiz\i, kitab salat, no. urut bab
152, dan 172
Ø Sunan al-Nasa>‘i>, kitab Sahwun,
no.urut bab 25, 26, 75, dan 76
Ø Sunan Ibnu Ma>jah, kitab Iqa>mah,
no.urut bab 131, 134, dan 136
Ø Sunan al-Da>rami>,
kitab Salat, no. urut bab 176
Ø Muwatt}a’ Ma>lik, kitab Nida>, no.
urut hadis 62
Ø Musnad Ah}mad, juz 1: halaman 376, 379,
409, 420, 456. Juz 2: halaman 532. Juz 3: 84.Juz 4: halaman 77, 253, dan 254
Dari
keterangan-keterangan di atas, dapat diketahui bahwa lafal سجدتي السهو
memiliki duabelas macam
potongan lafal matan hadis yang dirinci
sebagai berikut:
1.
فى سجدتي السهو تشهد
2.
سمى سجدتي السهو المرغمتين
3.
فلا يجلس سجدتي السهو
4.
لم يسجد سجدتي السهوحتى يقنه الله ذاك
5.
كانا يسجدان سجدتي السهوقبل السلام
6.
سجد سجدتي السهو
7.
ويسجد سجدتي السهو
8.
فسجد سجدتي السهو
9.
يسجد سجدتي السهو
10.
ليسجد سجدتي السهو
11.
وسجد سجدتي السهو
12.
ولم يسجد سجدتي السهو
Objek
kajian takhrij peneliti adalah lafal ويسجد سجدتي السهو. Setelah
mencari (mengembalikan ke kitab sumber) matan lengkap lafal tersebut, ditemukan
bahwa hadis tersebut adalah hadis qauliyah. Adapun bunyi hadis tersebut
yaitu:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ
عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ يَعْنِي الْجُعْفِيَّ قَالَ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ
شُبَيْلٍ الْأَحْمَسِيُّ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ الْإِمَامُ
فِي الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ ذَكَرَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوِيَ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ
اسْتَوَى قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ قَالَ أَبُو دَاوُد
وَلَيْسَ فِي كِتَابِي عَنْ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ إِلَّا هَذَا الْحَدِيثُ[13]
2. Metode Takhrij Melalui Lafal Pertama Matan
Hadis
Setelah mengetahui matan hadis tersebut
secara lengkap, langkah selanjutnya adalah takhrij dengan metode lafal pertama.
Kitab yang peneliti pergunakan adalah Fath al-Kabi>r fi> D{amm al-Ziya>dah
ila> Jami>’ al-S{agi>r karangan al-Hafi>z} Jala>l al-Di>n
Abu> al-Fad}l ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> Bakr Muh}ammad
al-Khud}airi> al-Suyu>t}i> al-Syafi>’i atau lebih dikenal dengan
Imam al-Suyu>t}i.[14] Lafal pertama yang
dipergunakan adalah إذا قام الإمام . Hasil yang didapatkan
yaitu:
إذا قام الإمام في الركعتين فإن ذكر قبل أن يستوي قائما فليجلس فإن
استوى قائما فلا يجلس ويسجد سجدتي السهو ) حم د ه هق) عن المغيرة[15]
Maksud dari keterangan di atas yaitu:
Hadis ini terdapat dalam Musnad Ah}mad (حم) Sunan
Abu> Da>wud (د) Sunan Ibnu Ma>jah (ه) dan al-Ima>m
al-Baih}aqi> dalam kitab al-Sunan al-Kubra> ( هق),
Diriwayatkan oleh al-Mugi>rah (rawi a‘la>).
3. Metode Takhrij Melalui Periwayat Pertama
Hadis
Langkah berikutnya yaitu takhrij hadis dengan metode periwayat
pertama (rawi a’la>). Kitab yang dipergunakan adalah Tuh}fath
al-Asyra>f bi Ma‘rifah al-At}ra>f karangan al-Hafi>z} al-Muh}aqqiq
Muh}addis\ al-Sya>m Jama>l al-Di>n Abu> al-H{ajja>j Yu>suf
ibn al-Zakki> ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Yu>suf al-Qadla>‘i> al-Kalbi>
al-Mizzi> al-Dimasyqi> al-Syafi>‘i> atau dikenal dengan Imam
al-Mizzi>.[16]
Periwayat pertama dalam hadis tersebut adalah al-Mugi>rah ibn Syu‘bah. Hasil
yang didapatkan sebagai berikut:
* 11525
(د (ت) ق) حديث: إذا قام الإمام في الركعتين، فإن ذكر قبل أن يستوي قائماً
فليجلس... الحديث. د في الصلاة (202: 1) عن الحسن بن عمرو، عن عبد الله بن الوليد
(ت فيه الصلاة 153: 1 تعليقاً: رواه سفيان، عن جابر، عن المغيرة بن شُبيل، عنه
به). ق فيه (الصلاة170: 3) عن محمد بن يحيى، عن محمد بن يوسف كلاهما عن سفيان، عن
جابر الجعفي، عن المغيرة بن شبل الأحمسي، عنه به. رواه زيد بن أبي أنيسة، عن جابر
مثله. [17]
Maksud dari keterangan di atas yaitu:
· Tanda satu bintang sebelum angka berarti periwayat kedua
merupakan tabi’in dan diriwayatkan dari sahabat.
· Angka 11525 adalah urutan hadis dalam kitab ini
· Teks (د (ت) ق) حديث)
berarti hadis ini dikeluarkan oleh Abu> Da>wud, al-Tirmiz\i, dan
al-Baih}aqi>.
· Titik-titik yang terletak setelah penggalan matan
mengisyaratkan bahwa hadis itu belum selesai.
· Huruf د
berarti dikeluarkan oleh Abu> Da>wud dalam Sunan-nya, pada kitab الصلاة , no. urut bab
202, hadis pertama dalam bab tersebut, dengan sanad pertama al-H{asan ibn ‘Amr
dan sanad kedua ‘Abd Allah ibn al-Walid.
· Huruf ت
berarti dikeluarkan oleh al-Tirmiz\i dalam Sunan-nya, pada kitab الصلاة
, no. urut bab 153, hadis pertama dalam bab tersebut, diriwayatkan oleh Sufya>n, dari Ja>bir,
dari al-Mugi>rah ibn Syubail.
· Huruf ق
berarti dikeluarkan oleh Ibnu Ma>jah al-Qazwa>ni> dalam Sunan-nya,
pada kitab الصلاة,
no. urut bab 170, hadis ketiga dalam bab tersebut, dengan sanad pertama
Muh}ammad ibn Yah}ya> dan sanad kedua Muh}ammad ibn Yu>suf yang kedua
orang ini juga meriwayatkan dari Sufya>n, dari Ja>bir, dari
al-Mugi>rah ibn Syubail al-Ah}masy. Diriwayatkan oleh Za>id ibn Abi>
Ani>sah, dari Ja>bir dan semisalnya.
4. Metode Takhrij Menurut Tema Hadis
Metode selanjutnya yang dipergunakan adalah
takhrij dengan metode bi al-Maudhu’ (tema). Kitab yang dipakai
adalah Kanz al-‘Umma>l fi>
Sunan al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l karangan Syeikh Imam ‘A<lim Kabi>r
Muh}addis\ ‘Ali> ibn H{isa>m al-Di>n ‘Abd al-Malik ibn Qa>d}i>
Khan, terkenal dengan sebutan Imam al-Muttaqi>.[18]
Cara mentakhrij hadis dengan metode ini yaitu
terlebih dahulu menentukan tema hadis yang dicari. Tema hadis di atas adalah
adalah tema salat, karena berkaitan dengan tata cara mengerjakan sujud sahwi
dalam pelaksanaan salat. Langkah selanjutnya yaitu mencari tema الصلاة
dengan urutan alfabet huruf hijaiyyah yaitu huruf shad ص)). Kemudian melakukan
penelusuran hadis dengan lafal pertama (إذا قام الإمام) secara alphabet huruf
hijaiyyah. Hasil yang diperoleh penyusun adalah sebagai berikut:
19821.
إذا قام الامام في الركعتين فان ذكر قبل أن يستوي قائما
فليجلس ، فان استوى قائما فلا يجلس ، ويسجد سجدتي السهو. (حم د ه هق عن المغيرة)[19]
Maksud dari keterangan di atas yaitu:
·
Nomor urut hadis
tersebut dalam kitab ini adalah 19821
·
Terdapat dalam Musnad
Ah}mad (حم) Sunan
Abu> Da>wud (د) Sunan Ibnu Ma>jah (ه) dan al-Ima>m
Baih}aqi> dalam kitab al-Sunan al-Kubra (هق)
·
Diriwayatkan oleh
al-Mugi>rah (rawi a‘la>).
5. Metode Takhrij Berdasarkan Status Hadis
Metode terakhir yang dipergunakan adalah takhrij
dengan metode status hadis. Kitab yang dipakai adalah Silsilah al-Aha>di>s\
al-S{ah}i>h}ah karangan Muh}ammad Nas}i>r al-Di>n al-Alba>ni>.[20] Untuk mencari hadis dalam
kitab ini, terlebih dahulu harus mengtahui status hadis dari segi kualitasnya.
Hadis yang dikaji dalam makalah ini berstatus hadis s}ah}i>h} (صحيح). Kemudian
melakukan penelusuran matan hadis mulai dari no. urut pertama karena
hadis-hadis yang dimuat dalam kitab ini tidak disusun berdasarkan alphabet
huruf hijaiyyah. Hasil yang didapatkan penyusun yaitu:
321
- " إذا قام الإمام في الركعتين ، فإن ذكر قبل أن
يستوي قائما فليجلس ، فإن استوى قائما فلا يجلس ، و يسجد سجدتي السهو " .
أخرجه أبو داود ( 1036 ) و ابن ماجه ( 1208 ) و الدارقطني ( 145 ) و
البيهقي
( 2 / 343 ) و أحمد ( 4 / 253 ، 253 - 254 ) من طريق جابر الجعفي ،
قال : حدثناالمغيرة بن شبيل الأحمسي عن قيس بن أبي حازم عن المغيرة بن شعبة قال
:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : فذكره .[21]
Maksud
dari keterangan di atas adalah sebagai berikut:
· Nomor urut hadis dalam kitab ini adalah 321
· Hadis ini dikeluarkan oleh Abu> Da>wud dalam kitab Sunan-nya,
nomor urut hadis 1036
· Oleh Ibnu Ma>jah dalam kitab Sunan-nya, nomor
urut hadis 1208
· Oleh al-Da>ruqut}ni> dalam kitab Sunan-nya,
nomor urut hadis 145
·
Oleh
al-Baih}aqi> dalam kitab al-Sunan al-Kubra’-nya, jilid 2 halaman 343
· Oleh Ah}mad ibn H{ambal dalam kitab Musnad-nya,
jilid 4 halaman 253 dan 254
· Periwayatan hadis ini dari jalur Ja>bir al-Ja‘fi>,
beliau berkata: al-Mugi>rah ibn Syubail al-Ah}masy menceritakan kepada kami,
dari Qais ibn Abi> H{azm, dari al-Mugi>rah ibn Syu‘bah beliau berkata,
Rasulullah saw. bersabda (maka Nabi menyebut matan hadis di atas).
B. Hadis-Hadis Tentang Dua Sujud Sahwi
Setelah melakukan penelusuran
melalui lima metode takhrij hadis ini dan batasan kitab sumber yang digunakan
adalah Kutub al-Tis‘ah, peneliti menyimpulkan bahwa hadis tentang dua
sujud sahwi dengan kasus yang sama yang telah disebutkan di atas terdapat dalam tiga kitab dengan
jumlah riwayat empat. Adapun rinciannya sebagai berikut:
a.
Dalam Sunan Abu
Dawud terdapat 1 riwayat; terletak di kitab al-S{ala>h, bab man
nasiya ‘an yatasyahhadah wahua ja>lisun, juz 1, halaman 338, nomor hadis
1036, yang berbunyi:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ
عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَابِرٍ يَعْنِي الْجُعْفِيَّ قَالَ حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ
شُبَيْلٍ الْأَحْمَسِيُّ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ الْإِمَامُ
فِي الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ ذَكَرَ قَبْلَ أَنْ يَسْتَوِيَ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ
اسْتَوَى قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيْ السَّهْوِ قَالَ أَبُو دَاوُد
وَلَيْسَ فِي كِتَابِي عَنْ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ إِلَّا هَذَا الْحَدِيثُ[22]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami al-H{asan ibn
‘Amr dari ‘Abd Allah ibn Wali>d dari Sufya>n dari Ja>bir yaitu al-Ju‘fi>
dia berkata; telah menceritakan kepada kami al-Mugi>rah ibn Syubail al-Ah}masi>
dari Qais ibn Abi> H{a>zim dari al-Mugi>rah ibn Syu‘bah dia berkata;
Rasulullah saw. bersabda; "Apabila seorang imam terlanjur berdiri pada
raka'at kedua, dan ingat sebelum berdiri tegak, hendaknya ia kembali duduk, dan
apabila telah berdiri tegak hendaknya ia tidak duduk dan sujudlah dua kali
yaitu sujud sahwi." Abu> Da>wud berkata; "Dan dalam kitabku
tidak di sebutkan dari Ja>bir al-Ju‘fi> kecuali dari hadis ini."
b.
Dalam Sunan Ibnu
Majah terdapat 1 riwayat; terletak di kitab Iqa>mah al-S{ala>h wa
al-Sunnah Fi>ha>, bab ma> Ja’a fi >man qa>ma min is\natain
sahiya>n, juz 1, halaman 381, nomor hadis 1208, yang berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ جَابِرٍ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُبَيْلٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ
أَبِي حَازِمٍ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ
قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيْ
السَّهْوِ[23]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muh{ammad ibn
Yah}ya> berkata, telah menceritakan kepada kami Muh}ammad ibn Yu>suf
berkata, telah menceritakan kepada kami Sufya>n dari Ja>bir dari al-Mugi>rah
ibn Syubail dari Qais ibn Abi> H{a>zim dari al-Mugi>rah ibn Syu‘bah ia
berkata, "Rasulullah saw. bersabda: "Jika salah seorang dari kalian
berdiri pada raka'at kedua namun belum sempurna dalam berdirinya, hendaklah ia
duduk. Namun jika telah tegak berdiri janganlah duduk, hendaklah ia sujud sahwi
dengan dua kali sujud. "
c.
Dalam Musnad
Ahmad terdapat 2 riwayat, terletak di bab Hadis al-Mugi>rah ibn Syu‘bah, juz
4, halaman 253, nomor hadis 18222 dan 18223, yang berbunyi:
حَدَّثَنَا
أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ جَابِرٍ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ
شِبْلٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ أَمَّنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الظُّهْرِ أَوْ الْعَصْرِ فَقَامَ
فَقُلْنَا سُبْحَانَ اللَّهِ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ يَعْنِي
قُومُوا فَقُمْنَا فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ قَالَ
إِذَا ذَكَرَ أَحَدُكُمْ قَبْلَ أَنْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ وَإِذَا اسْتَتَمَّ
قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ[24]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Aswad ibn ‘A<mir telah
menceritakan kepada kami Isra>`i>l dari Ja>bir dari al-Mugi>rah ibn
Syibl dari Qais ibn Abi> H{a>zim dari al-Mugi>rah ibn Syu‘bah ia
berkata, "Rasulullah saw. pernah mengimami kami shalat zhuhur atau ashar,
lalu beliau (langsung) berdiri (pada rakaat kedua) hingga kami membaca,
"SUBHAANALLAH." Dan beliau membaca: "SUBHAANALLAH." Lalu
beliau memberikan isyarat agar mereka berdiri, maka kami pun berdiri. Selesai
shalat beliau langsung sujud dua kali lalu bersabda: "Jika salah seorang
dari kalian ingat sebelum tegak berdiri maka hendaknya ia duduk, tetapi jika
telah tegak berdiri maka janganlah ia duduk."
حَدَّثَنَا
حَجَّاجٌ قَالَ سَمِعْتُ سُفْيَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْمُغِيرَةِ
بْنِ شِبْلٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فَلَمْ
يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ وَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدُ
سَجْدَتَيْ السَّهْوِ[25]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Hajja>j ia berkata, aku
mendengar Sufya>n dari Ja>bir ibn ‘Abd Allah dari al-Mugi>rah ibn
Syibl dari Qais ibn Abi> H{a>zim dari al-Mugi>rah ibn Syu‘bah ia
berkata, "Rasulullah saw. bersabda: "Jika salah seorang dari kalian
berdiri dan belum tegak dalam berdirinya maka hendaknya ia duduk. Tetapi jika
telah tegak maka janganlah ia duduk (kembali), dan hendaklah ia sujud sahwi
dengan dua kali sujud."
C. I‘tiba>r Hadis Tentang Dua Sujud Sahwi
Sebelum melangkah ke kritik hadis dan yang berkaitan
dengannya, terlebih dahulu penyusun menentukan salah satu hadis yang menjadi
objek kajian, yaitu sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
حَجَّاجٌ قَالَ سَمِعْتُ سُفْيَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْمُغِيرَةِ
بْنِ شِبْلٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فَلَمْ
يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ وَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدُ
سَجْدَتَيْ السَّهْوِ[26]
Setelah melakukan takhri>j
akan dilakukan i‘tiba>r.[27]
Dengan i‘tiba>r, akan terlihat keseluruhan sanad hadis dan mengetahui
ada atau tidak ada pendukung berupa periwayat yang berstatus sya>hid
atau muta>bi’.[28]
Demikian pula akan diketahui nama-nama periwayatnya dan metode periwayatan yang
digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan.
Sebagaimana telah disebutkan di sub bab sebelumnya, hadis
tersebut dalam al-kutub al-tis‘ah,
ditemukan sebanyak 4 riwayat. Dengan rincian 1 riwayat dalam Sunan Abu>
Da>wud, 1 riwayat dalam Sunan Ibnu Ma>jah, dan 2 riwayat dalam
Musnad Ah}mad.[29]
Untuk lebih jelasnya, berikut adalah skema
sanad hadis tentang dua sujud sahwi.
D. Kritik Sanad
a.
Ah{mad ibn H{ambal bernama
lengkap Ah{mad ibn Muh{ammad ibn H{ambal ibn Hila>l ibn Asad ibn
Idri>s ibn ‘Abdillah al-Syaiba>ni al-Marwazi>. Dia lahir pada bulan
Rabi’ al-Awal tahun 164 H. di Bagda>d. Ada juga yang berpendapat di Marwin
dan wafat pada hari Jum’at bulan Rajab 241 H.[30] Dia adalah seorang
muh{addis\ sekaligus mujtahid. Dia menghafal kurang lebih 1 juta hadis dan
pernah berguru kepada al-Sya>fi‘i>. Dialah penyusun kitab Musnad
Ah}mad.[31]
b.
H{ajja>j. Nama
lengkapnya adalah Hajja>j ibn Muh{ammad. Dia wafat pada tahun 206 H di
Bagdad. Guru-gurunya antara lain
Isra>i>l ibn Yu>nus, Ismail ibn Khali>fah, dan Sufya>n ibn
Sa‘i>d. murid-muridnya antara lain Ibra>hi>m ibn H{asan,
Ibra>hi>m ibn Di>na>r, dan Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H}ambal.
‘Ali> ibn al-Madi>ni> dan al-Nasa>i> menilainya s\iqah.
Muhammad ibn Sa‘d menilainya s\iqah s}udu>q.[32]
c.
Sufya>n. Nama
lengkapnya adalah Sufya>n ibn Sa‘i>d ibn Masru>q. Ia wafat pada tahun 161
H di Basrah. Guru-gurunya antara lain A<dam ibn Sulaima>n,
Ibra>hi>m ibn ‘Umar, dan Ja>bir ibn Yazi>d ibn Hars\.
Murid-muridnya antara lain Ibra>hi>m ibn Sa‘d, Ish}aq ibn
Isma>‘i>l, dan Hajjaj ibn Muh}ammad. Ma>lik ibn Anas dan Yahya
ibn Ma‘i>n menilainya s\iqah. Syu‘bah ibn H{ajja>j menyebutnya ami>r
al-mu‘mini>n fi al-h}adis\.[33]
d.
Ja>bir ibn ‘Abd Allah. Nama aslinya adalah Ja>bir ibn Yazi>d ibn H{ars\. Ia wafat pada
tahun 128 H. Guru-gurunya antara lain Abu> H{uraiz, H{ami>d ibn
Hila>l, dan al-Mugi>rah ibn Syubail. Murid-muridnya antara lain
Isra>i>l ibn Yu>nus, H{afs} ibn ‘Umar, dan Sufya>n ibn Sa‘i>d.
Syu‘bah ibn H{ajja>j menilainya s}udu>q. Waki>‘ ibn Jara>h}
menilainya s\iqah. Ah}mad ibn H>{ambal menilainya yakz\ib.
Yah}ya> ibn Ma‘i>n menilainya kaz\b.[34]
e.
Al-Mugi>rah ibn Syubail. Nama lengkapnya adalah al-Mugi>rah ibn Syubail ibn ‘Auf. Tidak
diketahui tahun wafatnya. Guru-gurunya antara lain Jari>r ibn ‘Abd Allah,
‘Umar ibn Syarh}i>l, dan Qais ibn Abi> H{a>zim H{us}ain.
Murid-muridnya antara lain Ja>bir ibn Yazi>d ibn H{ars\, Da>wud
ibn Yazi>d, dan Yu>nus ibn Abi> Ish}aq. Ibnu H{ibba>n dan
Yah}ya> ibn Ma‘i>n menilainya s\iqah. Abu> H{a>tim al-Ra>zi> menilainya la> ba’s\a bih.[35]
f.
Qais ibn Abi> H{a>zim. Nama lengkapnya adalah Qais ibn Abi> H{a>zim H{us}ain. Ia wafat
pada tahun 97 H. Guru-gurunya antara lain Bila>l ibn Raba>h}, Jari>r
ibn ‘Abd Allah, dan al-Mugi>rah ibn Syu‘bah. Murid-muridnya antara
lain Ibra>hi>m ibn Jari>r, Isma>‘i>l ibn Abi> Khuld, dan al-Mugi>rah
ibn Syubail. Yah}ya> ibn Ma‘i>n menilainya aus\aqun min al-Zuhri>.
Ya‘qub ibn Syu‘bah menilainya muttaqinun liriwa>yatih. Ibnu
H{ibba>n menilainya s\iqah.[36]
g.
Al-Mugi>rah ibn Syu‘bah. Nama lengkapnya adalah al-Mugi>rah ibn Syu‘bah ibn Abi> ‘Umar.
Ia wafat pada tahun 50 H. Guru-gurunya antara lain Nabi saw., dan
‘Us\ma>n ibn ‘Affa>n. Murid-muridnya antara lain Aslam maula’
‘Umar, al-Aswad ibn Hila>l, dan Qais ibn Abi> H{a>zim H{usain.[37]
E. Kritik Matan
Menurut M. Syuhudi Ismail, langkah-langkah
metodologis kegiatan penelitian matan hadis dapat dikelompokkan dalam tiga
bagian penelitian matan dengan melihat kualitas sanadnya, penelitian susunan
lafal berbagai matan yang semakna dan penelitian kandungan matan.[38]
Dengan demikian, dalam makalah ini,
penulis menggunakan tiga langkah metodologis tersebut sebagai acuan.
a.
Kualitas sanad
Setelah
melakukan penelitian terhadap sanad hadis yang menjadi objek kajian dalam
makalah ini, ditemukan bahwa sanad hadis tersebut dianggap d}a‘i>f karena
ada satu perawinya yang dinilai lemah (ضعيف
رفضى), yaitu Ja>bir ibn
Yazi>d ibn H{ars\.
Dengan demikian kritik matan tidak dapat
dilanjutkan.
Tingkatan jarh}
perawi ini adalah tingkatan ke-5 menurut Ibnu H{ajar al-As\qala>ni>.[39] Meskipun sanad hadis ini
cacat, tetapi matan hadis ini tidak
bertentangan dengan al-Qur‘an karena kandungan hadis ini adalah
kekhilafan atau kelupaan seseorang dalam melaksanakan ibadah salat, tetapi
diberikan alternatif untuk memperbaikinya atau dengan melakukan sujud sahwi
karena kelupaan itu. Allah swt. tidak memberatkan dan juga tidak menghukum
hamba-hambanya karena kesalahan yang disebabkan oleh lupa.
Allah swt. berfirman dalam surah
al-Ah}za>b [33]: 5
}§øŠs9ur öNà6ø‹n=tæ Óy$uZã_ !$yJ‹Ïù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy‰£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4
tb%Ÿ2ur ª!$# #Y‘qàÿxî $¸JŠÏm§‘ ÇÎÈ
Terjemahnya:
Dan
tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.[40]
Kemudian
adanya hadis s}ah}i>h} yang menguatkan hadis tersebut, yaitu hadis
riwayat al-Bukha>ri> dari Abu> Hurairah:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَيُّوبَ بْنِ أَبِي تَمِيمَةَ السَّخْتِيَانِيِّ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصَرَفَ مِنْ اثْنَتَيْنِ فَقَالَ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ أَقَصُرَتْ
الصَّلَاةُ أَمْ نَسِيتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ فَقَامَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى اثْنَتَيْنِ أُخْرَيَيْنِ ثُمَّ
سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ فَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ[41]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd
Allah ibn Maslamah dari Ma>lik ibn Anas dari Ayyu>b ibn Abi>
Tami>mah al-Sakhtiya>ni> dari Muh}ammad ibn Si>ri>n dari Abu>
Hurairah berkata, "Ketika Rasulullah telah selesai dari shalat dua rakaat,
Z\ul Yadain berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, shalatnya sengaja
diqashar atau tuan yang lupa?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
lalu berkata: "Apakah benar yang dikatakan Zul Yadain?" Orang-orang
menjawab: "Benar." Maka Rasulullah saw. pun bediri dan mengerjakan
shalat dua rakaat yang kurang kemudian salam. Kemudian beliau takbir lalu sujud
seperti sujudnya (yang biasa) atau lebih lama lagi."
Untuk lebih memperkuat argumen di atas,
berikut kritik sanad hadis yang menguatkan hadis tentang dua sujud sahwi
sebagai bukti bahwa hadis tersebut adalah hadis s}ah}i>h}.
v Kritik sanad hadis yang menguatkan hadis tentang dua sujud
sahwi
a.
Al-Bukha>ri>.
Nama lengkapnya adalah Muh}ammad ibn Isma>‘i>l ibn Ibra>hi>m ibn
al-Mugi>rah ibn Bardizbah al-Bukha>ri>. Nama kuniyahnya adalah Abu>
‘Abd Allah. Beliau lahir di Bukha>ra> pada hari Jum'at setelah shalat
Jum'at 13 Syawwal 194 H. Ia wafat pada beliau
meninggal pada hari sabtu tanggal 31
Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul
Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari.[42] Beliau dimakamkan selepas
Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri.[43] Guru-guru beliau antara
lain Abu> ‘A<s}im al-Nabi>l, ‘Ubaidullah ibn Musa, dan Makki> ibn
Ibra>hi>m.[44]
Dialah penyusun kitab Jami>‘
al-S{ah}i>h} al-Bukha>ri>.
b.
‘Abd Allah ibn Maslamah.
Nama lengkapnya adalah ‘Abd Allah ibn Maslamah ibn Qa‘nab. Nama kuniyahnya
adalah Abu> ‘Abd Rah}ma>n. beliau wafat di Bas}rah pada tahun 221 H.[45] di antara guru beliau
yaitu Aflah} ibn H{ami>d ibn Naf‘, Anas ibn ‘Aid ibn D}amrah, dan Ma>lik
ibn Anas. Sedangkan murid-muridnya antara lain Ah}mad ibn H{asan ibn
Junaidab, Ish}a>q ibn Mans}u>r ibn Bahram, dan ‘Amr ibn Mans}u>r.
Yah}ya ibn Ma‘i>n menilainya s\iqah ma’mu>n. Abu> Ha>tim
al-Ra>zi> menilainya s\iqah hujjah. Al-‘Ajali> menilainya s\iqah.[46]
c.
Ma>lik ibn Anas.
Beliau bernama lengkap Ma>lik ibn Anas ibn A<mir al-As}bah}i>
al-Madani>. Dia lahir pada tahun 93 H di Madinah dan wafat pada tahun 179 H.
Dia adalah seorang muh}addis\ sekaligus fuqaha>.[47] Di antara gurunya adalah
Na>fi‘, Ayyu>b ibn Abi> Tami>mah al-Syakhtiya>ni>, dan
Ibn Syih}a>b al-Zuhri>. Murid-muridnya antara lain Ibra>hi>m ibn
‘Umar ibn Mat}raf, ‘Abd Allah ibn
Maslamah ibn Qa‘nab, dan Ah}mad ibn Isma>‘i>l ibn Muh}ammad. Dialah
penyusun kitab al-Muwatt}a’.[48] Imam al-Syafi>‘I
berkata: dia adalah hujjah Allah terhadap makhluknya. Yah}ya ibn Aks\am dan
Yah}ya ibn Ma‘i>n menilainya s\iqah.[49]
d.
Ayyu>b ibn Abi>
Tami>mah al-Syakhtiya>ni>. Nama lengkapnya adalah Ayyu>b ibn
Abi> Tami>mah Kaisa>n. Nama nasabnya adalah al-Syakhtiya>ni>.
Nama kuniyahnya adalah Abu> Bakr. Beliau wafat pada tahun 131 H.[50] Guru-gurunya antara lain
Ibra>hi>m ibn Maisarah, Anas ibn Si>ri>n, dan Muh}ammad ibn
Si>ri>n. Murid-muridnya antara lain Isma>‘i>l ibn
Ibra>hi>m ibn Maqsam, Ibra>hi>m ibn T{ahman ibn Syu‘bah, dan Ma>lik
ibn Anas. Yah}ya ibn Ma‘i>n menilainya s\iqah. Muh}ammad ibn Sa‘d menilainya s\iqah
s\a>bit hujjah. Al-Nasa>i> menilainya s\iqah s\abit.[51]
e.
Muh}ammad ibn
Si>ri>n. Ia adalah maula>’ (mantan budak) Anas ibn
Ma>lik, sahabat sekaligus pelayan Nabi saw. Nama nasabnya adalah
al-Ans}a>ri>. Nama kuniyahnya adalah Abu> Bakr. Beliau wafat di
Bas}rah pada tahun 110 H.[52] di antara gurunya yaitu
Abu> ‘Ubaidah ibn H{uz\aifah ibn al-Yaman, Jundub ibn ‘Abd Allah ibn
Sufya>n, dan Abu> Hurairah. Sedangkan murid-muridnya antara lain
Asma>’ ibn ‘Ubaid ibn Makhraq, Asy‘as\ ibn Suwar, dan Ayyu>b ibn
Abi> Tami>mah Kaisa>n. Ah}mad ibn Hambal dan Yah}ya ibn Ma‘i>n
menilainya s\iqah. Muh}ammad ibn Sa‘d menilainya s\iqah ma’mu>n.[53]
f.
Abu> Hurairah.
Nama aslinya adalah Abd al-Rah}ma>n ibn Sakhr. Nama nasabnnya adalah
al-Yama>ni>. Abu> Hurairah adalah nama kuniyahnya. Beliau wafat di
Madinah pada tahun 57 H. guru-gurunya antara lain Nabi saw., Ubay ibn
Ka‘b ibn Qais, dan Bas}rah ibn Abi> Bas}rah. Murid-muridnya antara lain Muh}ammad
ibn Si>ri>n, Ibra>hi>m ibn Isma>‘i>l, dan Ibra>hi>m
ibn ‘Abd Allah ibn Hunain.[54]
Setelah melakukan kritik sanad, dapat dilihat
bahwa sanad hadis ini adalah s}ah}i>h} karena semua periwayatnya s\iqah
dan sanadnya bersambung.
F. Kesimpulan
Setelah
melakukan kritik sanad dan kritik matan, peneliti menyimpulkan bahwa hadis yang
menjadi objek kajian tidak memenuhi syarat kesahihan hadis dari segi sanadnya
karena ada satu perawi yang dinilai
lemah. Maka kualitas hadis ini adalah d}a‘i>f. Meskipun demikian,
ditinjau dari segi matannya ternyata hadis tersebut bebas dari sya>z\
dan ‘illah, karena adanya hadis s}ahi>h yang mendukungnya. Jadi
dapat disimpulkan bahwa kulitas hadis ini menjadi h}asan ligairih karena
derajat hadis tersebut terangkat oleh hadis s}ah}i>h} yang mendukungnya. Sekalipun demikian, Al-Alba>ni> berpendapat
bahwa hadis ini s}ah}i>h ligairih.[55]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Afrīqī, Muh{ammad ibn Mukrim ibn Manz}u>r. Lisān al-‘Arab. Juz. Cet.
I; Beirut: Dār S}ādir, t.th.
Al-Alba>ni>,
Muh}ammad Nas}i>r al-Di>n. Silsilah al-Ah}a>di>s\
al-S{ah}i>h}ah. Riya>d}:
Maktabah al-Ma‘a>rif, t.th.
‘Alimi, Ibnu Ah}mad. Tokoh
Dan Ulama Hadis. Sidoarjo: Mashun, 2008 M.
Al-As\qala>ni>,
Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar Syiha>b al-Di>n. Tahzi>b
al-Tahzi>b. Beirut: Muassasah al-Risa>lah, t.th.
Al-‘Azdi>,
Sulaima>n ibn Asy‘as\ Abu> Da>wud al-Sajista>ni>. Sunan
Abu> Da>wud. Baerut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Ba>ji>,
Abu> al-Wali>d Sulima>n ibn Khalaf. al-Ta‘di>l wa al-Tajri>h{.
Cet. I; al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’ li al-Nasyr wa al-Tauzi>‘, 1406
H./1986 M.
Al-Bukha>ri, S}ah}i>h}
al-Bukha>ri>. Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987
M.
_________, ‘Abdillah
Muh{ammad ibn Isma>‘i>l. al-Ta>rikh al-Kabi>r. Beirut:
Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Dahlawi>, ‘Abd
al-H{|||a|||||q ibn saif al-Di>n ibn Sa‘dulla>h. Muqaddimah fi>
Us}u>l al-H{adi>s.\ Cet. II; Beirut: Da>r al-Basya>ir
al-Isla>miyah, 1986 M.
Al-Fauri>, Ali>
al-Muttaqi> ibn H{isa>m al-Di>n al-‘Indi> al-Burha>n. Kanz
al-‘Umma>l fi> Sunan al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l. t.t.:
Muassasah al-Risalah, t.th.
Al-Ha>di>, Abu
Muh}ammad Mahdi ibn ‘Abd al-Qadi>r ibn ‘Abd. T{uruq Takhri>ji
H{adi>s\ al-Rasu>l Allah S{allalla>hu ‘Alaih wa Sallam. Cet. I; Beirut: Da>r al-I‘tis}a>m, 1994.
Al-‘Ijli>, Abu>
al-H{usain Ah{mad ibn ‘Abdillah ibn S{a>lih.{ Ma‘rifah al-S|iqa>t.
Cet. I; al-Madi>nah al-Munawwarah, Maktabah al-Da>r, 1405 H./1985 M.
Ismail, M. Syuhudi. Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis. Cet. II; Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995 M.
_________, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi. Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Karma>ni. al-Bukha>ri>
bi Syarh} al-Karma>ni>. Cet. II; Beirut: Da>r Ih}ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1401 H./1981 M.
Khalka>n, Abu>
al-‘Abba>s Ah{mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn. Wafaya>t
al-A‘ya>n wa Anba>’ Abna>’ al-Zama>n. Beirut: Da>r
S{a>dir, 1900 M.
Khon, H. Abdul Majid. Ulumul
Hadis. Cet. IV; Jakarta: Amzah, 2010.
Al-Mana>wi>, Abd
al-Rau>f. Faid} al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi‘ al-S}agi>r. Cet.
I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah al-Kubra>, 1356 H.
Al-Mizzi>, Tahzi>b
al-Kama>l fi> Asma>’ al-Rija>l. Cet. II; Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 1403 H/ 1983 M.
________, Jama>l
al-Di>n Abu> al-H{ajja>j Yu>suf. Tuh}fath al-Asyra>f bi
Ma‘rifah al-At}ra>f. t.t.: Da>r al-Qayyimah, t.th.
Al-Qat}t}a>n, Manna>'. Maba>hi>s| fi>
‘Ulu>m al-Hadi>s\|. Cet. IV; Kairo: Maktabah Wahbah, 1425 H./ 2004 M.
Al-Qazwa>ni>,
Muh}ammad ibn Yazi>d Abu> ‘Abd Allah. Sunan Ibnu Ma>jah. Beirut:
Da>r al-Fikr, t.th.
Al-Ra>zi>,
Abu> Muh{ammad ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> H}a>tim. al-Jarh{ wa
al-Ta‘di>l. Cet. I; Beirut: Da>r Ih{ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>,
1271 H./1952 M.
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Cet 8; Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008 M.
Solahuddin, M. & Agus Suyadi. Ulumul Hadis. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Al-Suyu>t}i, Fath al-Kabi>r fi> D{amm al-Ziya>dah
Ila> Jami>’ al-S{agi>r. Beirut: Da>r al-Kita>b
al-‘Arabi>, t.th.
Al-Suyu>t}i>,
Abu> al-Fad}l Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n. al-Tausyi>h}
Syarh} al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h}. Cet. I; al-Riya>d}: Maktabah
al-Rusyd, 1419 H./1998 M.
Al-Syaiba>ni>,
Ah}mad ibn H{ambal Abu> ‘Abd Allah. Musnad al-Ima>m Ah}mad ibn H{ambal.
Cairo: Muassasah Qartiyah, t.th.
Al-Syaira>zi>, Abu>
Ish{a>q. T{abaqa>t al-Fuqaha>’. Beirut: Da>r al-Ra>id
al-‘Arabi>, 1970 M.
Al-T{ah}h}a>n,
Mah}mu>d Usu>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d
(Cet. III; Riya>d: Maktabah al-Ma‘a>rif li al-Nasyri wa al-Tauzi>‘,
1417 H/ 1996 M.
Al-T{ah}h}a>n,
Mah}mu>d. Us}u>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d. Cet.
III; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H./1996 M.
Al-Tami>mi, al-S|iqa>t.
Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1395 H./1975 M.
Al-Tami>mi>,
Abu> H{a>tim Muh{ammad ibn H{ibba>n ibn Ah}mad. Masya>hi>r
‘Ulama>’ al-Ams}a>r. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1959 M.
Wensinck, A.J. Mu’jam al-Mufahras li
Alfa>z} al-H{adis al-Nabawi>. Leiden: Maktabah Baril, 1936 M.
Al-Z||ahabi>, Syams
al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad ibn ‘Us\ma>n. Siyar A‘la>m
al-Nubala>’. Cet. IX; Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1413 H./1993 M.
Zakariyya>, Abu>
al-H{usain Ah}mad ibn Fa>ris ibn. Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah. Beirut:
Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M.
[1]Menurut bahasa, kata takhri>j
adalah bentuk masdar dari kata kharraja-yukharriju-takhri>jan,
berakar dari huruf-huruf kha, ra, dan jim, mempunyai dua makna dasar
yaitu: al-nafa>z\ ‘an al-syai’ yang artinya menembus sesuatu dan ikhtila>f
launain yang artinya perbedaan dua warna. Lihat Abu> al-H{usain Ah}mad
ibn Fa>ris ibn Zakariyya>, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lugah, Juz II
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1399 H/ 1979 M), h. 175. Kata takhri>j memiliki makna memberitahukan dan mendidik atau
bermakna memberikan warna berbeda. Lihat Muh{ammad ibn Mukrim ibn
Manz}u>r al-Afrīqī, Lisān
al-‘Arab, Juz. II (Cet. I; Beirut: Dār S}ādir, t. th.), h. 249. Menurut Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, takhri>j
pada dasarnya mempetemukan dua perkara yang berlawanan dalam satu bentuk. Mah}mu>d
al-T}ah}h}a>n, Us}u>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d (Cet.
III; al-Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1417 H./1996 M), h. 7. Kata Hadis berasal dari bahasa
Arab al-hadi>s|, jamaknya adalah al-ah}a>di>s\ berarti
sesuatu yang sebelumnya tidak ada (baru). Lihat Ibn Fa>ris, op. cit., Juz. II, h. 28. Sedangkan dalam istilah
muhaddis\u>n, hadis adalah segala apa yang berasal
dari Nabi Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan, persetujuan ( taqrir
), sifat, atau sejarah hidup. Lihat Manna>' al-Qat}t}a>n, Maba>hi>s| fi> ‘Ulu>m al-Hadi>s|. (Cet.
IV: Kairo; Maktabah Wahbah, 1425 H./ 2004 M.), h. 15. Ulama beragam dalam memberikan defenisi takhri>j al-h{adi>s\,
namun defenisi yang paling sering digunakan adalah “Mengkaji dan melakukan ijtihad untuk
membersihkan hadis dan menyandarkannya kepada mukharrij-nya dari
kitab-kitab al-ja>mi’, al-sunan dan al-musnad setelah
melakukan penelitian dan pengkritikan terhadap keadaan hadis dan perawinya”. Lihat:
Abd al-Rau>f al-Mana>wi>, Faid} al-Qadi>r Syarh} al-Ja>mi‘
al-S}agi>r, Juz I (Cet. I; Mesir: al-Maktabah al-Tija>riyah
al-Kubra>, 1356 H.), h. 17.
[2]Dr. H. Abdul Majid Khon,
M.Ag, Ulumul Hadis (Cet. IV; Jakarta: Amzah, 2010), h. 119.
[3]A.J. Wensinck, Mu’jam al-Mufahras li Alfa>z}
al-H{adis al-Nabawi>, Juz II (Leiden: Maktabah Baril, 1936 M), h.
423
[4]Ibid.
[5]Ibid., h. 424
[6]Ibid.
[7]Ibid., h. 423
[8]A.J. Wensinck, op.cit., juz
3 h.11
[9]Ibid.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]Sulaima>n
ibn Asy‘as\ Abu> Da>wud al-Sajista>ni> al-‘Azdi>, Sunan
Abu> Da>wud, juz I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 338.
Selanjutnya disebut Abu> Da>wud.
[14]Abu
Muh}ammad Mahdi ibn ‘Abd al-Qadi>r ibn ‘Abd al-Ha>di>, T{uruq
Takhri>ji H{adi>s\ al-Rasu>l Allah S{allalla>hu ‘Alaih wa Sallam
(Cet. I; Beirut: Da>r al-I‘tis}a>m, 1994), h. 61.
[15]Jala>l
al-Di>n Muh}a>mmad al-Suyu>t}i>, Fath al-Kabi>r fi> D{amm
al-Ziya>dah Ila> Jami>’ al-S{agi>r, juz I (Beirut: Da>r al-Kita>b
al-‘Arabi>, t.th.), h. 139.
[16]Drs.
M. Solahuddin, M.Ag & Agus Suyadi, Lc., M.Ag, Ulumul Hadis (Cet. I;
Bandung Pustaka Setia, 2009), h. 196.
[17]Abu>
al-H{ajj al-Mizzi>, Tuh}fath al-Asyra>f bi Ma‘rifah al-At}ra>f, juz VIII (t.t.:
Da>r al-Qayyimah, t.th.), h. 490
[18]Manna>‘al-Qat}t}a}n,
Maba>h}is\ fi> ‘Ulu>m al-H{adi>s\ (Cet I; Kairo: Maktabah
Wahbah, 2002), h. 191.
[19]‘Ali>
al-Muttaqi> ibn H{isa>m al-Di>n al-‘Indi> al-Burha>n
al-Fauri>, Kanz al-‘Umma>l fi> Sunan
al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l, juz
VII (t.t.: Muassasah al-Risalah, t.th.), h. 469.
[20]Mah}mu>d
al-T{ah}h}a>n, Usu>l al-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d
(Cet. III; Riya>d: Maktabah al-Ma‘a>rif li al-Nasyri wa al-Tauzi>‘,
1417 H/ 1996 M), h. 161.
[21]Muh}ammad Nas}i>r al-Di>n al-Alba>ni>, Silsilah al-Ah}a>di>s\ al-S{ah}i>h}ah, juz I (Riya>d}: Maktabah al-Ma‘a>rif,
t.th.), h. 637.
[22]Abu>
Da>wud, op.cit., juz I h. 338.
[23]Muh}ammad
ibn Yazi>d Abu> ‘Abd Allah al-Qazwa>ni>, Sunan Ibnu Ma>jah,
juz I (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 381. Selanjutnya disebut Ibnu
Ma>jah.
[24]Ah}mad
ibn H{ambal Abu> ‘Abd Allah al-Syaiba>ni>, Musnad al-Ima>m
Ah}mad ibn H{ambal, juz IV (Cairo: Muassasah Qartiyah, t.th.), h. 253.
Selanjutnya disebut Ah}mad ibn H{ambal.
[25]Ibid.
[26]Ah}mad
ibn H{ambal, op. cit., juz IV h. 253
[27]Secara
etimologi, kata I‘tiba>r merupakan masdar dari kata i‘tabara
yang berarti peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat
diketahui sesuatunya yang sejenis. Secara terminologi ilmu hadis, i’tiba>r
berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis, yang hadis itu
pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan
menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan diketahui apakah ada periwayat
lain atau tidak ada untuk bagian sanad hadis dimaksud. Lihat: M. Syuhudi Ismail,
Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
51-52.
[28]Al-Sya>hid
adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih, sedangkan al-muta>bi’
adalah hadis yang diriwayatkan dua orang atau lebih setelah sahabat, meskipun
pada tingkatan sahabat hanya satu orang saja. Lihat: ‘Abd al-H{|||a|||||q ibn
saif al-Di>n ibn Sa‘dulla>h al-Dahlawi>, Muqaddimah fi>
Us}u>l al-H{adi>s\ (Cet. II; Beirut: Da>r al-Basya>ir
al-Isla>miyah, 1986), h. 56-57.
[29]Abu>
Da>wud, op. cit., juz I h. 338. Ibnu Ma>jah, op. cit., juz
I h. 381. Ah}mad ibn H{ambal, op. cit., juz IV h. 253
[30]Abu>
Ish{a>q al-Syaira>zi>, T{abaqa>t al-Fuqaha>’ (Beirut:
Da>r al-Ra>id al-‘Arabi>, 1970 M.), h. 91.
[31]Abu>
al-‘Abba>s Ah{mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn Khalka>n, Wafaya>t
al-A‘ya>n wa Anba>’ Abna>’ al-Zama>n, Juz. I (Beirut: Da>r
S{a>dir, 1900 M.), h. 63.
[32]Jama>l
al-Di>n Abu> al-H{ajja>j Yu>suf al-Mizzi>, Tahzi>b
al-Kama>l fi> Asma>’ al-Rija>l, Juz XXVII (Cet. II; Beirut:
Muassasah al-Risa>lah, 1403 H/ 1983 M) h. 451. Selanjutnya disebut al-Mizzi.
[33]>
al-‘Abba>s Ah{mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn Khalka>n, op.cit.,
Juz II, h. 386.
[34]Ah}mad
ibn ‘Ali> ibn H{ajar Syiha>b al-Di>n al-As\qala>ni>, Tahzi>b
al-Tahzi>b, Juz II (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, t.th.) h. 41.
Selanjutnya disebut al-As\qala>ni>.
[35]Al-Mizzi>,
op.cit., Juz II, h. 368
[36]Al-As\qala>ni>,
op.cit., Juz VII h. 346
[37]Ibid.,
Juz 10, h. 234.
[38]M.
Syuhudi Ismail, op.cit., h. 113.
[39]M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Cet. II; Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1995), h. 204.
[40]Departemaen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Cet 8; Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2008), h. 418
[41]Abu> ‘Abdillah Muh{ammad ibn
Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz.
I (Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.), h. 252.
Selanjutnya disebut al-Bukha>ri>.
[42]Ibnu
Ah}mad ‘Alimi, Tokoh Dan Ulama Hadis (Sidoarjo: Mashun, 2008) h. 206.
[43]Abu>
al-Fad}l Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rah}ma>n al-Suyu>t}i>, al-Tausyi>h}
Syarh} al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h}, Juz. II (Cet. I; al-Riya>d}:
Maktabah al-Rusyd, 1419 H./1998 M.), h. 29.
[44]Al-Karma>ni,
al-Bukha>ri> bi Syarh} al-Karma>ni>, Juz. II (cet.
II; Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1401 H./1981 M.),
h. 23.
[45]Abu>
H{a>tim Muh}ammad ibn H{ibba>n ibn Ah}mad al-Tami>mi>, al-S|iqa>t,
Juz. VII (Cet. I; Beirut: Da>r al-Fikr, 1395 H./1975 M.), h. 221. Selanjutnya
disebut Ibn H{ibba>n.
[46]Al-As\qala>ni>,
op.cit., Juz VII h. 213
[47]Abu>
Ish{a>q al-Syaira>zi>, op.cit., h. 167.
[48]Abu>
H{a>tim Muh{ammad ibn H{ibba>n ibn Ah}mad al-Tami>mi>, Masya>hi>r
‘Ulama>’ al-Ams}a>r, Juz. I (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah,
1959 M.), h. 161.
[49]Syams
al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad ibn ‘Us\ma>n al-Z|ahabi>, Siyar
A‘la>m al-Nubala>’, Juz. VII (Cet. IX; Beirut: Muassasah al-Risa>lah,
1413 H./1993 M.), h. 211-212.
[50]Abu>
‘Abdillah Muh{ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, al-Ta>rikh
al-Kabi>r, Juz. III (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 7. Selanjutnya
disebut al-Bukha>ri>, al-Ta>rikh al-Kabi>r.
[51]Abu>
al-Wali>d Sulima>n ibn Khalaf al-Ba>ji>, al-Ta‘di>l wa
al-Tajri>h{, Juz. II (Cet. I; al-Riya>d}: Da>r al-Liwa>’
li al-Nasyr wa al-Tauzi>‘, 1406 H./1986 M.), h. 531.
[52]Al-Bukha>ri>,
al-Ta>rikh al-Kabi>r. Juz IV, h. 124.
[53]Abu>
Muh{ammad ‘Abd al-Rah}ma>n ibn Abi> H}a>tim al-Ra>zi>, al-Jarh{
wa al-Ta‘di>l, Juz. III (Cet. I; Beirut: Da>r Ih{ya>’
al-Tura>s\ al-‘Arabi>, 1271 H./1952 M.), h. 193. Abu> al-H{usain
Ah{mad ibn ‘Abdillah ibn S{a>lih{ al-‘Ijli>, Ma‘rifah al-S|iqa>t (Cet.
I; al-Madi>nah al-Munawwarah, Maktabah al-Da>r, 1405 H./1985 M.), h. 305.
[54]Ibnu
Ah}mad ‘Alimi, op.cit., h. 59.
siapa pengarang makalah ini?
BalasHapusterima kasih sudah berbagi. join me yusufkarim.web.id
BalasHapus